oleh : Dina Sulaiman
ISIS dan Perempuan Dulu, saya pernah menulis tentang ‘mengapa anak-anak gadis banyak yang kabur bersama lelaki yang baru dikenalnya di FB?’ Jawaban utamanya, karena jablay (jarang dibelai orang tua) dan kurang kasih sayang di rumah.
Sekarang, muncul fenomena baru: anak-anak gadis (terutama dari AS dan Eropa) banyak yang kabur dari rumah untuk bergabung dengan ISIS. Bagaimana bisa? Ternyata jawabannya sama saja: mereka gadis-gadis yang jablay, kurang kasih sayang, dan jatuh cinta pada ‘mujahidin’ setelah berkomunikasi intens melalui berbagai media sosial (medsos).
Yang lebih menarik, saya dapati info bahwa anasir ISIS benar-benar mengurusi satu-persatu “korban”-nya di internet. NYTimes menulis reportase bagaimana seorang gadis Nasrani dari Amerika bernama Alex (26 tahun) dibujuk dengan sangat sabar dan perlahan oleh teman online-nya, bernama Faisal. Alex adalah gadis yang kesepian, meskipun hidup bersama neneknya. Faisal terus “mendampingi” Alex. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari berkomunikasi lewat Twitter, Skype dan email. Bahkan, sesekali Faisal mengirimi uang dan hadiah. Target akhir Faisal adalah Alex pergi ke Suriah untuk menjadi istri “mujahidin”. Khusus untuk perempuan Indonesia, saya amati dari komentar-komentar mereka di medsos, mereka mengira kehidupan di bawah rezim “mujahidin” adalah kehidupan yang baik-baik saja. Mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya berita yang menunjukkan kebrutalan para “mujahidin” karena “yang diperlakukan demikian adalah orang kafir.” Jadi, selama mereka tidak kafir, mereka kira, mereka akan baik-baik saja, bahkan hidup tenteram di sana. Apalagi, para jihadis ISIS dan sejenisnya (mereka punya banyak nama, sama-sama ngaku jihad) menerima gaji besar ratusan hingga ribuan dollar perbulan. Sungguh sangat menggiurkan, terutama bagi orang-orang berekonomi lemah di Indonesia. Apalagi yang lebih indah buat orang semacam mereka: hidup di “Daulah Islamiyah”, dapat gaji dollar pula?
Hingga kini belum muncul pengakuan dari para perempuan yang sudah terlanjur ke Suriah. Apakah mereka bahagia? Mereka diharuskan menggunakan cadar, hanya boleh di rumah mengurus anak dan melayani suami, atau bekerja di pabrik garmen. Yang jelas ada dua perempuan Italia yang menyesal. Pemerintah Italia harus membayar tebusan 12 juta Dollar kepada jihadis demi menyelamatkan dua gadis itu.
Ideologi Utama ISIS Baru-baru ini, postingan saya yang berisi peringatan kepada ibu-ibu agar waspada ISIS diremove oleh Facebook. Beberapa teman mengatakan, untuk meminta FB meremove postingan seseorang, bahkan menghapus akun orang itu, hanya butuh 20, atau 80 (entah mana yang benar). Yang me-report postingan saya, tentu saja mereka yang pro-ISIS. Dan inilah ideologi dasar mereka: anti-perbedaan (istilah lain: takfirisme). Siapa saja yang mengungkapkan narasi yang berbeda dari narasi yang sedang mereka sebarkan, akan mereka bungkam. Di dunia maya, mereka melakukannya dengan bully, fitnah, dan kompak me-report.
Ketika jihad sudah ‘meletus’, kita bisa lihat di Suriah dan Irak: orang yang “berbeda” akan mereka bantai dengan cara-cara barbar. Ga usah jauh-jauh ke orang Syiah, sesama “mereka” saja saling bantai (karena “khalifahnya”-nya beda). Sejak 2012 saya sudah prediksi, di antara kelompok-kelompok jihad Suriah, pasti akan terjadi konflik karena beda “manhaj” (sebagian Hizbuttahrir, sebagian Ikhwanul Muslimin, sebagian Al Qaida, sebagian entah apalah, tapi semua ideologi dasarnya sama: takfirisme/anti perbedaan). Ternyata benar saja, antara ISIS dan Al Nusra kemudian saling mengkafirkan (dan karena pihak lawan kafir, dianggap sah untuk dibantai). Lihat saja pemberitaan mengenai konflik Suriah di antara situs-situs “Islam” di Indonesia (kalian taulah, situs-situs mana yang saya maksud), akhir-akhir ini, masing-masing punya jago sendiri (padahal semua “jago” sama-sama mengaku sedang jihad).
Sekarang, di Indonesia, mereka semena-mena membungkam orang lewat medsos. Jadi, kita bisa bayangkan sendiri apa jadinya negeri ini kalau mereka “berkuasa”. ISIS diketahui menggunakan medsos secara masif untuk mempropagandakan ideologi mereka dan berhasil menarik fans yang sangat banyak dari berbagai penjuru dunia. Menurut data ICSR, hingga kini jumlah orang asing (non Suriah) yang datang berjihad melampaui 20.000 orang, melebihi angka mujahidin dalam konflik Afghanistan. Luar biasa. Bagaimana bisa para “mujahidin” sedemikian bersemangat perang ke negeri Muslim, mengusir penduduk asli dari tanah mereka, membunuhi mereka, dan merampas properti mereka?
Tentu saja, korban propaganda ISIS lewat medsos bukan semata-mata gadis-gadis jablay yang kurang kasih sayang. Baru-baru ini diberitakan dua pilot Indonesia bergabung dengan ISIS, setelah intens bergaul dengan para “mujahidin” lewat medsos. Ideologi adalah pendorong utama tindakan seseorang. Seseorang bisa saja membunuh orang lain yang melakukan kesalahan terhadap dirinya. tapi, ada 20.000 orang asing berdatangan ke Suriah, membunuhi orang Suriah yang tak pernah mereka kenal seumur hidup, tentunya didorong oleh sesuatu yang ‘lain’, yaitu ideologi. Ideologi kebencian kepada ‘segala yang berbeda’. Di sinilah letak bahayanya ideologi ISIS (dan sejenisnya, dalam berbagai nama dan ormas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H