Saya harus akui memang belum pernah memijakkan kaki di Kota Kupang, NTT. Selama menjadi jurnalis di media arus utama, wilayah 'mainan' saya di Indonesia hanya di Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera. Jadi, ketika saya mendapat tawaran riset di Kupang, tanpa pikir panjang langsung saya iyakan saja. Ceritanya, bekerja sembari jalan-jalan alias "ja-lan". Kapan lagi?
Agar perjalanan menjadi seru, saya membuat tantangan yang tak jauh-jauh dari urusan perut. Harap maklum, dengan badan seberat nyaris 100 kg, amat mustahil tak doyan makan. Tantangan itu adalah dalam 2 hari mengumpulkan data riset (tugas utama), berapa jenis makanan khas Kupang yang bisa masuk perut saya?
Dua hari bukanlah waktu yang panjang. Apalagi saya harus menuntaskan pekerjaan utama. Mau tahu perjuangannya?
Sei Sapi dan Es Kacang Hijau
Pukul dua pagi, di minggu terakhir April 2013, saya sudah harus bangun dan berkemas ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pesawat saya berangkat pukul 5 pagi.
Perjalanan udara yang saya tempuh ke Bandara El Tari, Kupang membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Kebetulan maskapai penerbangan yang dipilihkan untuk saya harus transit terlebih dahulu di Surabaya. Jadi memang agak lama. Alhasil, kepala mulai terasa pusing. Ini penyakit saya jika kurang tidur. Ditambah lagi perut mulai keroncongan.
Sesampainya di Kupang, target utama adalah mencari makan. Kebetulan, saya dijemput di bandara. Tancap!
"Kita menuju ke Rumah Makan Selera saja," kata Pak Jerry yang mengantarkan saya menggunakan mobil. Rumah Makan Selera atau yang lebih dikenal Depot Selera terletak di Jalan R. Soeprapto, Kupang. Tempat ini memang terkenal menjual masakan khas Kupang.
Hati saya riang tak berperi. Alamat akan segera mengisi perut sekaligus memenuhi target akan segera menyicipi masakan khas Kupang.
Tapi tak disangka, rumah makan ini ternyata tutup, tak tahu apa penyebabnya. Tak biasanya. "Kita ke Teluk Kupang saja, ada tempat yang pas disana," usul Pak Jerry mengerti kekecewaan saya. Saya ikut saja, pasrah sudah.
Tuhan memang adil.