Lihat ke Halaman Asli

Aryo Darpito

Fotografer

Menyatukan Persepsi dan Komunikasi Masyarakat Pluralis

Diperbarui: 22 Februari 2024   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Dalam kehidupan bersama, manusia tentu tidak bisa lepas dari keberagaman. Keberagaman itu terkadang disalahartikan menjadi suatu berkonotasi negatif. Hari peringatan seperti Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, Kesaktian Pancasila dan sebagainya, selalu ada pertanyaan yang menggoda. Apakah seluruh hari-hari istimewa yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar sebuah rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu merupakan amanat peristiwa luar biasa (extraordinary) yang menagih keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan?

Tulisan ini akan membawa pada bahasan bagaimana persepsi dari agama dan kebudayaan yang saling bersentuhan membawa pesan yang baik untuk persatuan dan perkembangan masyarakat yang majemuk. Ketika masyarakat dapat menempatkan diri dalam relasi masyarakat yang heterogen ini, tentu kontrol dan konektivitas sosial dapat berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada.

Perkembangan persepsi dan komunikasi dalam jalinan keberagaman dalam kompleksitas masyarakat selalu berada dalam tren positif. Keterbukaan melalui dialog yang rutin dilakukan menunjukkan intelektualitas dan kepekaan oleh para tokoh masyarakat semakin berkembang. Terlebih banyak daerah-daerah yang sudah mulai terbuka akan agama-agama yang beragam.

Agama dan kebudayaan tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap agama harus steril dari budaya, sementara sebagian lain menganggap agama bisa berdialog dengan budaya. Dalam hal ini saya melihat sebuah hal yang sangat kontradiktif, karena pada praksisnya sebuah agama akan diterima masyarakat ketika agama itu dapat melebur, menyatu dalam kebudayaan setempat.

Katolik-Jawa: Sejarah singkat

Sejak 3 Januari 1961, seluruh Vikariat Apostolik di Nusantara berubah statusnya menjadi Provinsi Gerejawi. Titik ini menjadi kelahiran hierarki di Indonesia. Maka sejak saat ini Vikariat Apostolik Semarang berubah statusnya menjadi KAS.

Namun demikian sudah sejak tahun 1808, Semarang telah menjadi stasi dari Prefektur Apostolik Batavia dimana Pastor L. Prinsen bertugas melayani saat itu. Pada 1859 Ambarawa menjadi stasi baru dengan datangnya imam-imam Serikat Yesus. Menyusul kemudian pada 1865 Yogyakarta menjadi stasi baru dan juga disusul kemudian Magelang.

Pastor Fransiskus Georgius J. van Lith, SJ mendirikan sekolah guru di Muntilan pada 1904. Jasa Romo Van Lith tercatat karena pembaptisannya kepada sekitar 100 orang di Sendangsono yang menjadi salah satu tonggak perkembangan umat Katolik di Jawa Tengah. Penyebaran para guru selanjutnya menyebabkan Gereja Katolik berkembang lebih pesat di Jawa Tengah dan juga di seluruh Jawa. Seminari Menengah didirikan di Muntilan pada 1911 dan nantinya pindah ke Mertoyudan. Pada 1936 didirikan Seminari Tinggi di Yogyakarta.

Post Modern di tanah Jawa

Perkembangan pesat agama di tanah Jawa menunjukkan bahwa kebersamaan dalam masyarakat tanah Jawa dan kebersatuan melebur dengan baik. Tentunya tak lepas dari peran para misionaris yang bermisi dan melihat inkulturasi sebagai peluang untuk penyebaran agama Katolik di tanah Jawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline