Pada masa lampau, peserta didik “dipaksa” untuk mengikuti apa yang menjadi kemauan para guru dan orang tua. Ketika ada pelajaran menggambar pemendangan. Sang guru pun memberi contoh menggambar di papan tulis. Hasilnya : gambar dua buah gunung saling berdempet, di sela sela gunung ada matahari merekah. Tak ketinggalan, di depan gunung ada sawah, lalu ada jalan lingkar-lingkar. Selesai memberi contoh, giliran peserta didik di minta untuk membuat pemandangan.
Anank-anak pun menggambar dengan agak ketakutan. Mereka merasa tak bisa menggambar seindah gurunya. Begitu jam pelajaran menggambar selesai, pekerjaan pun dikumpulkan. Apa yang terjadi?Teryata, semua gambar yang dibuat anak-anak nyaris sama. Ada dua gunung, matahari, sawah, dan jalan melingkar. Tapi, sang guru tak bisa berbuat banyak. Tetep membiarkan hal itu berlalu bersama waktu. Ia berfikiran, anak-anak mau menggambar sudah hal yang luar biasa. Soal kreatifitas, itu urusan berlakangan.Toh,ia beralasan, ia bukan guru yang asli menggambar.
Ketika di rumah pun,dalam bimbingan orangtua,anak tidak di beri kebebasan untuk beraksi.Ketika memberikan warna pada gambarnya,di arahkan orangtua.Warna matahari harus kemerahan, warna gunung harus kecoklatan. Padahal, sang anak ingin memberi warna kuning pada matahari dan warna hijau pada gunung. Tapi tak boleh. Dianggap nyalaihi aturan.
Begitulah adanya, sejak zaman baheula, peserta didik telah diarahkan, di cetak ,untuk “penurut”, menjadi peniru. Seolah peserta didik itu robot. Hanya menjalankan program yang telah dibuat sang pencipta robot. Anak tak memiliki kemandirian. Kreativitas tidak muncul,karena begitu muncul kreasi baru langsung divonis salah. Secara tidak langsung, kebebasan anak untuk berekpresi pun terbelenggu. Anak yang memiliki daya imajinasi tinggi tak tersalurkan, karena dogma guru yang salah. Akhirnya, rasa percay diri pada anak tidak tumbuh, tidak bisa berkembang.
Megapa pendidikan yangsalah kaprah tersebut bia berlangsung di Indonesia? Sebab, pendidikan kala itu hanya ingin menggunakan tolok ukur pada konsep Intelligence Quotien (IQ). Padahal, berdasarkan sejumlah penelian menyatakan kecerdasan emosi (IQ) lebih berperan dalam menentukan kebersihan anak. Melalui kecerdasan emosional memiliki imajinasi yang tinggi, kreatif, mandiri, dan tidak menjadi enak yang hanya bisa meniru apa yang di ajarkan sang guru.
Ingat, kemudian teknologi bekat adanya daya imajinasi Dwianto setiawan, pengarang cerita anak-anak menurutkan munculnya pesawat terbang dan Apollokebulan juga berasal dari imajinasi. Tak hanya itu, seniman Leonardo dan vinci merupakan contoh orang yang memiliki imajinasi dan fantasi sangat tinggi. Jauh sebelum helikopter dan pesawat terbang ada sekarang, Leonardo telah menuangkan dalam bentuk goresan. Apa yang di byangkanseniman tersebut sekarang ini telah jadi kenyataan.
Masih soal pembelajaran. Pemdidikan sejak zaman Oemar bakri hingga sekarang masih senang menerapkan pelajaran menghafal memang tak bisa dihindari. Seharusnya, peserta didik tidak hanya diajarkan menghafal, tapi lebih banyak pada pengatan . menurut Profesor Conny, pembelajaran menggamati terdiri dari pengelan, membedakan, mengklafisikasikan, membangdingkan, mendiskripsikan obyek maupun situasi untuk kemudian dipahami dan intreprestasikan menjadi kesimpulan.
Maka, bukan rahasia lagi, ketika akan ada ulangan peserta didik rela “wayangan” demi menghafal pelajaran yang akan diujikan. Irosinya, sebagian siswa yang “wayangan bikin contekan” karena tidak bisa menghafal pelajaran dengan baik. Peserta didik telah berani dengan sengaja untuk berlaku tidak jujur pada kemampuanya sendiri. Mereka hanya ingin meraih prestasi tinggi, meski harus dengan jalan “mencontek”.
Masih ada kebiasaan buruk orang tua dalam mendidik putra-putrinya. Ketika peserta didik mendapat pekerjaan rumah (PR), bukan sang anak mengerjakan tapi malah orang tuanya. Mereka ingin anaknya mendapat nilai yang bagus, jadi PR anaknya di kerjakan orangtuanya. Perilaku orang tua semacam ini dikecam pendidk J Dost SJ. Tindakan orang tua memberikan bantuan langsung kepada anaknya ataupun melalui guru les, sebenarnya bukan demi kepentingan anak melainkan demi kepentingan ambisi orang tua. Anak di paksa menjadi rekaan orang tua. Anak hnya menghafalkan karya orang lain, tanpa memahami mata pelajaran yang di pelajarinya. Semua ini merusak, bahkan mematikan kreatifitas belajar anak.
Bagaiman dengan anda??????????????????????????????????
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H