Lihat ke Halaman Asli

Aryni Ayu

Asisten Peneliti

Kartini, Seorang Boneka Belanda?

Diperbarui: 1 Oktober 2016   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Kartini berjalan dalam koridornya sendiri tanpa dukungan dari sebuah institusi besar dibalik nama keluarga bangsawannya?

Preface

Saya membayangkan bagaimana jika di dunia penuh cibernetik ini diwarnai dengan beragam tokoh, baik itu skala lokal, nasional, ataupun internasional. Bukankah itu tidak terlalu buruk? Apakah ingatan manusia begitu stagnan untuk memikirkan kesemua kesan terhadap tokoh-tokoh tersebut? Menurut National Geographic yang melakukan riset pada seratus orang korban pemboman World Trade Centre (2011), ingatan manusia akan berubah setiap tahunnya, bahkan meaning (pemaknaan) dari satu peristiwa yang sebelumnya begitu dramatik bisa menjadi biasa saja hanya terbatas pada waktu. Berbeda pada kondisi korban yang benar-benar trauma maka kondisi akan diam. 

Di berbagai sekat historis setiap bangsa tidak akan pernah lepas dari hal-hal bertaut penokohan. Akar peradaban Eropa, Yunani, erat kaitannya dengan keberadaan Aristotle, Plato, Tucidides, Dewi Aphrodite, Dewa Zeus, dan lain sebagainya. Amerika memunculkan Abraham Lincoln sebagai presiden pertama lepas dari Inggris, George Washington, Suku Indian, Madonna, George Washington Bush, Obama, serta ratusan tokoh lainnya. Perancis dengan peran Louis XVI dan Maria Antoniette, Mesir menokohkan Fir’aun dan Cleopatra. Begitu pula Indonesia yang sama sekali tidak kontradiktif dengan konsep tokoh, tak kalah banyak dalam hal melakukan penokohan. Pertanyaan besar yang segera menemui realisasinya adalah benarkah nantinya masyarakat di suatu negara akan mengingat satu tokoh tersebut dengan ingatan yang sama?

 Menurut Geertz (2003), satu objek dalam mnemonic manusia tidak akan sama persis gambarannya dalam hal mengingat, apalagi dalam temporal tertentu. Secara politis apakah tidak dapat kita prediksikan bahwasanya salah satu tokoh di masa lampau begitu populer tersebut ada suatu masa akan dipakai sebagai ajang mempopulerkan suatu kelompok atau partai? Dalam kurun waktu temporer misalnya, dapat diamati perpolitikan Indonesia terutama mendekati masa-masa kampanye entah itu tingkat gubernur ataupun kepresidenan, seringkali ditemui beberapa partai notabene motor dari para calon terpilih sering mengusung tokoh-tokoh dari masa lalu, Soekarno misalnya. 

Sitti Zurroh (2015) seorang politikus terkemuka dalam wawancaranya di salah satu televisi swasta menilai, “ini salah satu simbolosasi kepentingan, dapat kita lihat kebiasaan satu tokoh yang sebelum mencalonkan menjadi A cara berpakaian luwes apa adanya, tetapi setelah mencalonkan dia memakai simbol-simbol sarung, tasbih, dan lainnya untuk meyakinkan bahwa dia seorang beragama. Saya pikir ini bukan soal agama, tetapi kepentingan”. Adapula fenomena sosial lain dapat diamati salah satu partai politik yang sebelumnya hanya partai marjinal di Indonesia, setelah mengusung satu tokoh besar suaranya melejit berhasil memukau rakyat. Lagi – lagi sedikit masyarakat yang kritis terhadap simbolisasi semacam ini. 

Berkaca pada peristiwa-peristiwa temporer jika ditarik ranah historisnya, maka munculnya konsep penokohan selama ini tak lepas dari apa yang sudah dilakukan penjajah di masa lampau. Asvi Warman Adam dalam bukunya “Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Perisiwa” (2009) menjelaskan sejarah selama ini terlalu dimanipulasi. Tokoh-tokoh penting menurut sejarah Indonesia pun tidak lepas dari campur tangan penjajah, siapa sangka jika yang tidak melawan Belanda dapat disebut pahlawan? Ini seperti menempatkan bangsa Indonesia pada jebakan ilusi penokohan, akhirnya fanatik terhadap satu kelompok yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Bagaimana dengan Kartini? Benarkah dia adalah tokoh emansipasi wanita atau sengaja dibuat agar di masa depan, bangsa ini terjebak pada penokohan yang tidak realitas dengan kemajuan? Hal ini semacam ahistoris.

Pergerakan Emansipasi Internasional

Dalam catatan Mari Wollstonecraft’s Vindication of The Rights of Women (1792) dan John Stuart Mill’s The Subjection of Women (1869) yang diterbitkan ulang tahun 2013, pergerakan emansipasi perempuan di dunia terjadi pada masa-masa awal dan pertengahan dari megahnya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Ini diperjuangkan karena beberapa kausalitas salah satunya adalah kesetaraan yang diinginkan wanita dalam hal perpolitikan. Di pemilihan umum tahun 1848-1849, perempuan tidak mendapat tempat hanya sekedar unutk menyuarakan dirinya. Perbudakan dan pemerkosaan yang sering terjadi pada masa merebaknya industrialisasi terutama pada kaum perempuan marjinal, membuat pergerakanperempuan kian gencar dilancarkan di pertengahan abad 19. 

Di Indonesia atau Hindia Belanda kuasa milik kolonial atau di negara-negara terjajah lainnya seperti India, Thailand, China, seperti tidak muncul suara-suara kaum perempuan. Bahkan ketika penjajahan Jepang terhadap perempuan Filiphina sekitar tahun 1950-an, pergerakan emansipasi perempuan belum terlihat gaungnya. Baiklah dapat dikatakan emansipasi perempuan layaknya suara menggelegar yang berkembang ada yang bersifat kooperatif sampai radikal. Emansipasi perempuan membawa pengaruh signifikan pada perkembangan perempuan. tetapi yang hasur dipertanyakan disini adalah sejauh mana emansipasi perempuan berpengaruh realitas pada perempuan-perempuan di negara-negara terjajah? Berani saya katakan, emansipasi demikian ini terlambat satu abad lamanya dibanding perempuan-perempuan di Eropa sana yang negaranya sudah mapan. 

Negara Perancis, Inggris, dan Amerika yang sedang memperjuangkan kaum perempuannya dari slaves, pembatasan suara, mereka pula mencoba mengentaskan para perempuan di Amerika Latin dan Afrika yang saat itu terjajah. Tetapi bagaimana dengan suami-suami dari diantara perempuan yang sudah menikah dalam emansipasi tersebut?apakah benar tidak ada hubungan suami mereka dengan negara sebagai satu institusi politik besar? Meski berbalut ideologi liberalis, namun tatanan politis tetap bsaling bertautan antara pekerjaan satu individu dengan negara. Suami dari Mari Wollstonecraft’s, William Godwin seorang wartawan dan novelis, dia sangat mendukung istrinya untuk mendukung perjuangan kaum perempuan di Eropa dan Amerika. Dirinya juga membiayai istrinya untuk menjalankan emansipasi itu, tentu dengan ijin negara (National Geographic, 2012). Lagi-lagi sebuah pertanyaan besar, benarkah emansipasi perempuan berjalan tanpa kooperatif? Apakah Kartini berjalan dalam koridornya sendiri tanpa dukungan dari sebuah institusi besar dibalik nama keluarga bangsawannya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline