Ary Ginanjar dan Kecerdasan Emosi EQ yang melahirkan Training ESQ
[caption id="attachment_2164" align="alignleft" width="300" caption="Ary Ginanjar dan Kecerdasan Emosi"] [/caption]
Ary Ginanjar mengatakan banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki pendidikan tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Sering kali mereka yang berpendidikan formal lebih rendah, ternyata lebih berhasil di dunia pekerjaan.
Saat ini banyak orang berpendidikan yang tampak menjanjikan, mengalami kemandekan dalam kariernya. Lebih buruk lagi, mereka tersingkir. Ary Ginanjar menyampaikan satu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survei nasional di negara itu tentang apa yang diinginkan oleh para pemberi kerja: keterampilan teknik tidak seberapa penting bila dibandingkan dengan keterampilan dasar untuk beradaptasi (belajar) dalam pekerjaan: kemampuan mendengar dan berkomunikasi secara lisan, adaptasi, kreativitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerja sama tim serta keinginan memberi kontribusi terhadap perusahaan.
Ary Ginanjar menambahkan pula pendapat seorang praktisi kaliber internasional, Linda Keegan, Vice President bidang pengembangan eksekutif Citibank di salah satu negara Eropa, yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi (EQ) harus menjadi dasar dalam setiap pelatihan manajemen. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi satu-satunya tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang mampu dicapai. Menurut makalah McCleland tahun 1973 berjudul “Testing for Competence Rather than Intelligence,” “Seperangkat kecakapan khusus, seperti empati; disiplin diri; dan inisiatif; akan membedakan antara mereka yang sukses sebagai bintang kinerja dengan yang hanya sebatas bertahan di lapangan pekerjaan.”
Hal tersebut telah disadari perusahaan-perusahaan raksasa dunia saat ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang sesungguhnya adalah kecerdasan emosi. Sorokin, yang tanpa kenal lelah mempelajari sejarah kebudayaan manusia, menemukan banyak hal dari kajiannya yang ternyata cocok dengan perihal kecerdasan emosi yang ia sebut intuisi manusia. Di antara para ahli yang kemudian mendukung pandangannya intuisi sebagai dasar kebenaran sebutlah Plato, Aristoteles, Plotinus, Santo Agustinus, Thomas Hobbes, Henry Bergson, Baruch Spinoza, Carl Jung dan Alfred North Whitehead. Bahkan pendukung fanatik rasionalitas, John Stuart Mill berkata, ... “Kebenaran yang berasal dari nurani merupakan kebenaran yang dijadikan acuan bagi semua kebenaran yang lain.”
Seorang pakar lainnya berpendapat, “Yang telah saya temukan selama bertahun-tahun adalah bahwa pada umumnya orang-orang hebat yang kita kenang adalah mereka yang paling berkenan di hati kita. Mungkin mereka adalah orang-orang jenius yang kreatif dan intuitif. Atau mereka yang mempunyai kesungguhan hati dan keberanian. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kejujuran emosi (hati) dan tidak mau hidup dalam kepura-puraan. Mereka mempunyai kemauan untuk memperbarui keadaan, mempertanyakan aturan-aturan yang membedakan golongan, mengulurkan kasih sayang, atau mengucapkan kata-kata yang ramah. Mereka mempunyai standar tersendiri dalam hal integritas dan terus-menerus mencari makna-makna kehidupan yang lebih dalam.”
Suara hati murni itulah yang harusnya dijadikan dasar prinsip paling sederhana, yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan, serta kebijaksanaan. Menurut Covey, “Di sinilah Anda berurusan dengan visi dan nilai Anda. Di sinilah Anda gunakan anugerah Anda—kesadaran diri (self awareness)—untuk memeriksa peta diri Anda. Jika Anda menghargai prinsip yang benar, paradigma Anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan dengan suara hati yang berperan sebagai kompasnya.” Namun bagaimana cara untuk memperoleh dan mengenal suara hati sejati itu? Buku ini akan membantu Anda menjawabnya.
"Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan kalam. Mengajar manusia apa yang tiada ia tahu" QS Al-‘Alaq (Segumpal Darah) 96:1-5
Kesimpulan dari Ary Ginanjar bahwa EQ adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran Anda pada suara hati. Tiga pertanyaan yang selanjutnya perlu diajukan, yaitu apakah Anda jujur pada diri sendiri? Seberapa cermat Anda merasakan perasaan terdalam pada diri Anda? Seringkah Anda tidak mempedulikannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H