Lihat ke Halaman Asli

Cermin Kematian

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Sungguh sia-sia mati tua. Lebih mulia mati muda. Sungguh beruntung tidak dilahirkan,” kata Soe Hok Gie dalam “Catatan Seorang Demonstran”.

Berbincang-bincang tentang kematian sungguh tabu bagi kita yang tengah larut dalam kenikmatan material dunia yang mengikat. Entahlah, aku tak habis pikir, Gie berani “menyongsong” kematian dalam masa muda yang produktif. Berbincang tentang kematian saja sudah bikin ngeri apalagi kematian itu sendiri. Hiiii……sungguh aku belum siap untuk itu.

“Perbincangan tentang kematian memang menakutkan karena kita tidak pernah berkenalan dan dekat dengan kematian,” kata Gede Prama dalam salah satu bukunya. Komaruddin Hidayat, seorang intelektual Muslim, juga menulis dalam bukunya “Psikologi Kematian” bahwa kematian itu misteri yang menakutkan. Makanya sebagian besar masyarakat merasa tabu berbicara tentang kematian.

Kematian tak pandang bulu, kawan. Ia diprogram untuk menyertai yang hidup. Yang hidup diprogram untuk mati. Lalu siapkah kita dengan kematian, kawan? Kalau belum itu berarti anda sama seperti aku. Kita masih terikat dengan duniawi. Jika anda menjawab, “Ok. Aku sudah siap mati. Aku sudah bosan dengan duniawi. Hidup dan mati ada di tangan Tuhan.” Ini baru dahsyat. Dan anda perlu diuji untuk keberanian anda ini.

Ini ujiannya. Kalau anda sedang asyik-asyiknya makan di restoran atau warung tenda atau di dalam bus kota atau sedang di dalam mobil pribadi atau di tempat lain yang mengasyikkan tiba-tiba saja keasyikan anda itu terganggu oleh kedatangan pengamen atau pengemis. Anda terganggu karena kedatangan mereka tanpa undangan.

Dengan wajah memelas mereka berusaha menarik simpati anda pada penderitaan hidupnya. Mereka berharap anda berbagi rejeki. Dalam keadaan demikian biasanya banyak orang berdalih tak mau memberi dengan pura-pura tak mendengar sembari memalingkan muka atau pura-pura tidur (biasanya yang sedang naik bus kota atau kereta api. Kalau naik pesawat jelas nggak mungkin lah yaouw) atau pura-pura tak punya receh seperti yang sering aku lakukan.

Nah, jika di dalam dompet anda ada masing-masing satu lembar uang seribu rupiah, dua ribu rupiah, lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah, dua puluh ribu rupiah, lima puluh ribu rupiah, dan seratus ribu rupiah manakah di antara itu yang akan anda keluarkan dari dompet dan memberikannya kepada pengemis atau pengamen itu?

Atau ketika anda ke masjid, gereja, wihara, atau pura dan anda mendapati kotak amal yang belum penuh maka lembaran rupiah manakah yang akan anda masukkan? Aha, biasanya orang akan memberikan lembaran yang paling kecil, betul? Berarti anda memang belum siap mati karena “kikir”.

Kalau ngasih yang lembaran Soekarno-Hatta gimana? Sudah siap mati dong, kan yang paling besar? Sama juga karena anda masih berhitung duniawi. Kalau ngasih semuanya berarti sudah siap mati dong? “Ikhlas kok gue. Serius!” kata Anda. Kalau ini sih namanya orang gila!


Saat kita menghirup udara pertama kali di dunia ini suara tangis kita membahana, “Oek….oek….oek.” Meski menangis tapi orang-orang di sekitar kita justru tertawa bahagia menyambut kelahiran kita. Mungkinkah kita bisa melakukan sebaliknya ketika kita mati kelak? Ketika orang-orang di sekitar kita menangisi kematian kita, justru kita tertawa penuh kebahagiaan melihat mereka yang kita tinggalkan.

Sudahkah anda bercermin pada kematian (muda)?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline