Sebuah renungan terkait kehidupan yang luhur
Kelengkapan kehidupan manusia dengan akal dan budi memberikan kelengkapan kehidupan sebagai mahkluk yang luhur.
Akal kita sering kali membaca kenyataan sebagai buah dari algoritma sebab dan akibat sehingga membuat kita sering kali berspekulasi dan memberikan penilaian atas sebuah kejadian. Spekulasi yang diberikan seringkali hanya parsial dari keutuhan data yang ada di lingkaran kejadian.
Misalkan di saat sebuah gelas pecah sesaat setelah dipegang oleh seorang anak usia balita, akal akan memberikan ulasan dengan beragam penilaian, dan semua tergantung dari kekayaan data dari sang akal. Jika akal ini dimiliki oleh seorang guru sekolah, maka ia akan katakan bahwa hal ini adalah biasa dan faktor usia anak yang masih belia memang belum tepat untuk memegang sebuah gelas kaca yang rawan pecah. Namun jika akal ini dimiliki oleh seorang pekerja keras, ia akan memberikan penilaian bahwa sang anak kurang berhati-hati, tidak fokus dan kurang menghargai hal yang dimilikinya.
Kedua profesi dengan perbedaan penilaian terhadap kejadian gelas pecah ini tentu tidak dapat diperdebatkan, dan tidak dapat dimenangkan atau dikalahkan satu sama lainnya. Keduanya memiliki sisi sudut pandang yang berbeda dengan kumpulan data yang juga berbeda.
Lalu jika dipertanyaan secara lebih tegas, mana yang kita perlu yakinkan, cara pandang seorang guru sekolah yang terdidik dan cakap dalam pendidikan atau seorang pekerja keras yang tentu sangat cakap dalam menghadapi tantangan hidup? Di saat kita harus memilih satu di antara kedua hal ini, maka inilah awal dari sebuah masalah kehidupan dimulai.
Mengapa ini menjadi awal permasalah kehidupan? Ya karena kita yang memiliki keunikan dalam mengelola akal diminta untuk diseragamkan lantaran karena hukum mayoritas, atau hukum kepatutan sebuah profesi atau juga karena dorongan dari kuasa dari yang memiliki harapan untuk menyeragamkan akal ke satu kubu.
Perbedaan akal seharusnya menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang luas tanpa batas, bukan menjadi kutukan yang menyempitkan satu akal dan mengakalkan sang akal yang berbeda menjadi sebuah kefatalan.
Beragam akal yang muncul dalam penilaian atas sebuah kejadian dapat direkat menjadi satu kebijaksanaan jika kita gunakan budi. Budi memberi alasan yang kuat atas akal yang digunakan dalam melakukan penilaian. Budi memberi rasa yang menjadikan akal yang digunakan sebagai sebuah kebaikan bukan kejahatan.