Lihat ke Halaman Asli

aryavamsa frengky

A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Menjadi Bahagia

Diperbarui: 9 Januari 2024   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: freepik.com

Tulisan kali ini adalah inspirasi yang penulis dapatkan dari teman penulis yang lama tidak bertemu, sekitar lebih dari 6 tahun lamanya. Pertemuan ini pun di tempat kami merilekskan tubuhkan di tempat pijat dan refleksi kaki. "Hi bro, lama tak jumpa, apakabar?", tanya penulis. "Saya sehat dan bahagia, sekarang saya sudah bisa melepaskan diri dari pekerjaan rutin, dan bisa menikmati waktu-waktu tanpa rutinitas".

Teman penulis ini dahulu adalah salah seorang manager di sebuah hotel berbintang lima, pekerjaan beliau sangat menantang dan kadang memberikan tekanan yang membuat dirinya menjadi sulit bahagia. Pekerjaan dengan posisi dan tentu upah yang bagus ini ditinggal beliau hanya lantaran beliau ingin hidup bahagia.

Uang yang diterima tidak dapat dinikmati oleh kehidupan yang tertekan sepanjang hari. Ibarat segelas ice cream yang nikmat tak jadi nikmat jika saat dimakan kita sedang sakit gigi. Demikian pula uang yang kita terima tak perduli seberapa banyak uang yang kita miliki, namun di saat batin kita sedang gelisah, susah, penuh tekanan tentu uang itu tak dapat kita nikmati dengan gembira.

Teman lain penulis yang saat ini mendapat sorotan media bercerita kepada penulis, bahwa kehidupannya menjadi kalut dan jauh dari kenyamanan lantaran kehidupan pribadinya telah disita dan terus disorot media. Impian ingin hidup bahagia pun menjadi sirna lantaran terlilit oleh perilaku media yang terbiasa memberi sorotan terhadap gerak-gerik dirinya.

Kedua teman ini juga berkata kepada penulis,"Kamu kok tampak mudadan bahagia terus, kok bisa?". Penulis hanya heran saja, kenapa bisa ya, lalu biasanya penulis menjawab,"Ya karena pekerjaan saya sebagai pendidik sering ketemu murid yang seru, muda-muda mungkin terbawa muda dan bahagia".

Kebahagiaan tentu memiliki sebuah kriteria yang berbeda sisi, namun dari kedua teman penulis ini, penulis menemukan bahwa kebahagiaan itu dekat dengan kebebasan. Di saat kita merasa terkekang dalam beragam hal seperti terkekang dalam waktu, terkekang dalam privasi, terkekang dalam berpendapat, terkekang dalam memilih, terkekang dalam bertindak, dan terkekang lainnya, di saat itulah kita sulit menjadi bahagia.

Kekangan yang diberikan oleh pekerjaan atau pihak di luar diri kita tentu itu dapat didefinisikan dengan persepsi kita masing-masing, jika kita sangat sempit dalam memahami pekerjaan kita atau sesuatu di luar kita maka kita semakin mempelebar kerangkeng kekangan yang memenjara kita hingga kita sulit bahagia.

Mungkin teman penulis telah mendefinisikan kekekangannya bahwa waktu luang tanpa rutinitas adalah kebahagiaan, dan ruang privasi adalah kebahagiaan. Semakin kita menyadari kekekangan kita sejak dini kita semakin lebih mudah untuk memahami kebahagiaan kita. Walau kita tidak selalu dapat mewujudkannya segera, namun pikiran kita telah menyiapkan rencana untuk melepaskan kekangan yang ada.

Harta dan tahta yang saat ini masih diburu oleh banyak orang dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, tentu ini pun menjadi kekangan yang dibuat oleh orang-orang yang mungkin memahami kebahagiaan dengan mengikat dirinya kepada simbol kuno berupa harta dan tahta. Mereka yang saat ini hartanya berlimpah pun belum tentu mereka menjadi bahagia juga mereka yang saat ini memiliki tahta pun demikian belumlah tentu mereka bahagia.

Namun mereka yang saat ini bahagia baik ada harta atau tidak ada harta mereka tetap bahagia, baik ada tahta atau tidak ada tahta pun mereka tetap bahagia. Untuk itu perlu kiranya kita memahami definisi kebahagiaan kita terlebih dahulu sebelum kita terlilit dalam pusaran yang menjauhkan kita dengan kebahagiaan.

Definisikanlah segera kebahagiaan kita, temukan kebebasan yang ingin kita capai, kemudian rencanakan itu dan wujudkan itu terjadi. Namun jika kita sulit mendefinisikan kebahagiaan versi kita, kita cukup menyadari udara yang kita hirup dan melepaskannya sebagai sebuah kebahagiaan yang paling sederhana yaitu rasa syukur ternyata kita masih hidup. Semakin sederhana kita mendefinisikan kebahagiaan kita, semakin mudah tentunya kita untuk menjadi bahagia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline