Lihat ke Halaman Asli

aryavamsa frengky

A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Melabel Kehidupan Sial atau Untung

Diperbarui: 2 November 2023   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.freepik.com

Fenomena kehidupan kita sering ditemukan dengan gejolak sebuah penilaian yang kadang kita bilang sial tapi malah jadi untung, namun tak jarang juga yang untung malah jadi sial.

Suatu saat penulis mendapat sebuah kenaikan gaji penulis langsung berpersepsi," Sebuah keuntungan datang pada ku". Setelah gaji meningkat ternyata penulis berangsur-angsur terus menyelesaikan angsuran dari barang yang dibeli yang bukan barang utama dan penting. Lambat laun gaji yang meningkat ini tidak lebih besar daripada gaji sebelumnya dalam hal gaji yang tersimpan. Keuntungan berubah menjadi kesialan seketika saja.

Teman penulis sempat bertanya dalam diskusi selama perjalanan, "Frengky, menurut mu saya ini dipecat sebagai sebuah kesialan atau keuntungan?". Penulis merenung sesaat, dan membalas jawaban dengan pertanyaan,"Apakah Koko (panggilan kakak orang keturunan Tioghoa) merasa lebih bahagia setelah dipecat ini?", "Lebih bahagia terbebas dari jerat kepemimpinan yang kurang apik waktu itu namun saya agak mikir apa kerjaan saya berikutnya ya?" lantang teman penulis.

Penulis coba menyelami pemikiran teman penulis ini, "Hm...koko saat ini lebih merasa bahagia khan? Kalau iya maka ini merupakan langkah awal yang baik untuk memulai lagi sesuatu yang baru. Ini bukan sebuah keuntungan atau kesialan tetapi sebuah momen yang berarti buat ko. Untuk masa depan seperti apa biarlah nanti direncanakan lagi, namun yang terpenting adalah saat ini, perasaan saat ini yang muncul". "Ow baiklah, jadi kita perlu memahami perasaan saat ini saja ya, dak usah khawatir tentang masa depan, gitu ya?", tanyanya. "Setuju!", jawab penulis.

Pemberian label atas kejadian yang terjadi dalam hidup kita saat ini sering kali menimbulkan masalah baru dan memberikan dampak yang menyulitkan kehidupan kita. Jika kita melabel seperti teman penulis misalnya melabel pemecatannya sebagai kesialan maka hidupnya akan semakin kusut, suram dan penuh penderitaan. Walau ke depan ia mungkin saja mendapat keuntungan namun mentalitas kita terombang-ambing oleh kutub untung atau kutub sial.

Terima saja yang datang sebagai yang datang tak perlu kita memberinya label. Penting bagi kita untuk mempertahankan kondisi mental dalam kondisi tenang, stabil, tidak bergejolak juga tidak terombang-ambing oleh sebuah label. Terima saja.

Jika demikian kita tidak boleh merasa senang dan sedih atas hal yang datang kepada kita, benar demikian? Tidak juga, kita bisa merasa gembira, senang, bahagia atas hal yang datang atau kita juga bisa merasa sedih, susah, kecewa atas hal yang datang, namun itu hanya reaksi bukan label. Reaksi alami sebagai manusia yang memiliki perasaan. Tugas kita adalah bukan menambahkan energi yang berlebihan atas rasa senang dan susah yang datang dengan memberinya label sebagai sesuatu yang untung atau sial.

Terima saja, dan kemudian lanjutkan momen kehidupan kita ke depan. Langkah kaki kita akan lebih ringan, tubuh akan mudah untuk mendukung untuk lebih baik setelah mental state atau kondisi mental merespon dengan tepat kejadian yang datang kepada kita.

Hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan, namun hal ini sangat mungkin untuk dibiasakan sehingga menjadi pembiasaan dalam merespon kejadian yang datang. Pembaca dapat melatihnya dengan cara mengamati pikiran pembaca di saat kejadian datang, amati apa yang muncul, saat kita mulai mengamati bentuk pikiran yang muncul atas kejadian yang terjadi, secara otomatis pikiran kita akan lebih stabil. Mengapa? Sederhananya karena kita memunculkan sebuah pikiran yang mengamati di atas pikiran yang bereaksi terhadap sebuah kejadian.

Umumnya ketika kita tidak memunculkan pikiran yang mengamati, kita cenderung terpenjara oleh pikiran yang responsif sehingga membuat kita sulit untuk menerima kejadian yang terjadi sebagaimana adanya, kita cenderung terlekat atas kejadian tersebut dan sulit keluar darinya apalagi jika itu adalah kejadian yang buruk yang menimpa bertubi-tubi dalam kehidupan kita.

Penulis ingat teknik yang diajarkan guru meditasi penulis terkait memunculkan pikiran yang mengamati di saat suatu kejadian terjadi. Sang guru mengatakan,"Jika kalian sulit mengamati sang pikiran yang merespon suatu kejadian, kalian dapat merasakan detak jantung kalian, atau kalian dapat juga merasakan getaran tubuh kalian, atau kalian dapat merasakan udara yang masuk dan keluar melalui kedua lubang hidung kalian, atau kalian juga dapat merasakan kondisi tubuh kalian secara global. Apapun yang terjadi pada tubuh kalian, amati saja hal ini akan memudahkan kalian memunculkan pikiran yang mengamati".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline