[caption id="attachment_248982" align="aligncenter" width="300" caption="Poster film Osama (http://en.wikipedia.org/wiki/Osama)"][/caption]
Osama adalah judul sebuah film yang dibuat tahun 2003 oleh Siddiq Barmak di Afganistan. Film ini berkisah tentang seorang gadis berumur 12 tahun yang hidup di masa pemerintahan rezim Taliban. Fokus cerita film ini adalah perjuangan si gadis kecil yang terpaksa menyamar sebagai anak laki-laki agar bisa menghidupi keluarganya. Film Osama ini adalah film pertama yang di buat di Afganistan setelah produksi film dilarang oleh rezim Taliban sejak tahun 1996. Menurut sang sutradara, cerita film Osama sebagian terinspirasi oleh cerita seorang anak gadis yang ditemui oleh sutradara, yang menyamar menjadi anak laki-laki agar bisa bersekolah. Serta terinspirasi oleh reportase sebuat surat kabar sesaat setelah jatuhnya rezim Taliban. Nama Osama disini tidak ada kaitannya dengan Osama bin Laden.
Osama: Potret Penindasan Perempuan melalui Interpretasi Islam Dimasa pemerintahan Taliban di Afganistan, rezim ini menerapkan peraturan hukum yang sangat represif terutama terhadap perempuan, yang antara lain perempuan tidak boleh bekerja. Bahkan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi oleh muhrim laki-laki. Situasi ini menjadi sulit bagi sebuah keluarga yang hanya beranggotakan 3 orang perempuan: seorang anak perempuan, sang ibu, dan sang nenek. Ayah dan paman si anak perempuan tersebut meninggal semasa perang ketika Afganistan diinvasi oleh Soviet. Akibatnya tidak ada laki-laki dalam rumah tangga tersebut yang bisa bekerja untuk menghidupi keluarga. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu dan nenek tidak menemukan cara lain kecuali meminta anak perempuannya untuk menyamar menjadi anak laki-laki agar bisa bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Si anak perempuan tidak berdaya menolak bujukan ibu dan neneknya meskipun ia merasa sangat takut dibunuh oleh pemerintah Taliban bila penyamarannya diketahui. Dua orang yang mengetahui penyamaran tersebut, selain ibu dan neneknya, adalah seorang laki-laki pedagang susu, teman almarhum ayahnya, dimana anak gadis tersebut kemudian bekerja; dan seorang anak laki-laki tetangganya bernama Espandi. Espandi yang mengenali anak perempuan tersebut menyimpan rahasia penyamaran dan bahkan kemudian memanggilnya dengan nama Osama. Penyamaran ini kemudian menjadi masalah besar bagi Osama ketika pemerintah Taliban merekrut anak-anak laki-laki dari sekolah-sekolah untuk masuk dalam pelatihan militer. Dengan statusnya sebagai anak laki-laki Osama bersama Espandi termasuk yang direkrut dalam pelatihan. Dalam pelatihan tersebut anak-anak tidak hanya dilatih berperang, tetapi juga diajari melakukan tatacara keagamaan dalam Islam, seperti cara mandi besar bila suatu saat nanti anak laki-laki mengalami mimpi basah atau setelah menggauli istrinya ketika mereka menikah. Sikap Osama yang selalu menolak untuk ikut praktek dalam latihan mandi besar tersebut lama-kelamaan menimbulkan kecurigaan pelatihnya. Teman-temannya di pelatihan mulai mem”bully” Osama, tetapi Espandi selalu berusaha melindunginya. Akhirnya Osama tidak mampu lagi menutupi penyamarannya ketika kemudian dia mulai memperoleh menstruasi. (Saya ingat adegan dimana Osama diikat dan digantung berdiri di atas lubang sebuah sumur, agar – maaf - darah menstruasi gadis kecil tersebut bisa terlihat…adegan yang sangat menyedihkan). Akhirnya Osama ditangkap oleh pemerintah Taliban. Meskipun tidak dibunuh, tetapi Osama dipaksa menikah dengan laki-laki tua yang pantas menjadi kakeknya dan sudah memiliki 3 orang istri. Tiga orang istri tersebut membenci suaminya karena merasa laki-laki tua itu telah menghancurkan hidup mereka. Ketiga istri ini kasihan kepada Osama tetapi mereka tidak berdaya membantu. Pada bagian akhir film ini ada adegan dimana laki-laki tua suami Osama sedang mandi di dalam sebuah bak mandi diluar rumah, tempat dimana teman-teman Osama biasa berlatih mandi besar. Tentu anda semua mengerti makna adegan mandi laki-laki tua tersebut. Penutup film ini adalah adegan Osama yang bercadar sedang menutup jendela rumahnya, yang juga berarti menutup kehidupan anak gadis tersebut dari pandangan dunia luar. Maka Osama memulai kehidupannya yang telah “berakhir”, dan menyisakan kepada penonton, seperti saya, rasa marah dan sedih akan nasib Osama. Saya menonton film Osama sekitar 6 atau 7 tahun yang lalu. Cerita film tersebut sangat membekas dalam pikiran saya, meskipun mungkin ada dramatisasi sebagai sebuah cerita film, tetapi alur ceritanya terasa sangat logis dan riil. Meskipun sudah sekian tahun berselang, hingga kini saya masih bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh perempuan yang tidak beruntung seperti Osama. Kerancuan Interpretasi Kodrat Perempuan Tak sengaja, saya membaca sebuah artikel yang di kanal Politik dengan judul: “Memutar Balik Kodrat Perempuan: Menghancurkan Ketahanan Keluarga” beberapa hari yang lalu. Artikel ini sebenarnya adalah sebuah tulisan yang diterbitkan di website Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia yang kemudian di”share” di Kompasiana. Artikel ini diawali dengan pemaparan data hasil penelitian sebuah lembaga penelitian tentang perempuan Indonesia di dunia kerja. Yang intinya 86% penelitian ini menemukan bahawa wanita Indonesia yang bekerja sudah merasakan keseimbangan antara kehidupan keluarga dan perkerjaan. Tersedianya teknologi, fleksibilitas jam kerja, dan dukungan keluarga menjadikan wanita yang bekerja mampu berperan ganda antara keluarga dan pekerjaannya. Kemampuan berperan ganda ini diindikasikan dengan sukses bekerja dan tidak menjadikan masalah dalam kehidupan keluarganya. Penulis artikel (dr. Arum Harjanti) berpendapat bahwa hasil penelitian tersebut telah memutar balik kodrat perempuan, dimana kodrat perempuan seharusnya bukan pencari nafkah tetapi sebagai ibu dan pendidik anak. Sudah seharusnya perempuan tinggal di rumah mendidik anak karena sudah dinafkahi oleh suami. Ketahanan rumah tangga akan terancam dan keseimbangan keluarga akan terganggu bila perempuan bekerja di luar rumah. Menurut si penulis, ketahanan keluarga akan terjamin bila keluarga dijalankan sesuai dengan posisi dan fungsi unsur-unsur dalam keluarga. Kesejahteraan keluarga dapat dicapai dengan memfungsikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah dan perempuan menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu bagi anaknya. Lebih lanjut si penulis menyatakan bahwa Islam menjamin kesejahteraan keluarga bila perempuan tidak bekerja mencari nafkah serta menjalankan kodratnya sebagai perempuan dan tidak terjebak dalam godaan pemberdayaan perempuan. Membaca artikel ini, memori saya langsung tertuju pada cerita film Osama. Meskipun mungkin tidak akan menjadi masyarakat yang seekstrim yang dibentuk oleh pemerintah Taliban di Afganistan kala itu, tetapi dalam benak saya demikianlah gambaran masyarakat yang kurang lebih dikehendaki oleh si penulis dalam kaitannya dengan fungsi perempuan dalam keluarga. Judul tulisan tersebut adalah “Memutar Balik Kodrat Perempuan: Menghancurkan Ketahanan Keluarga’” tetapi dalam hemat saya, penulis justru telah menjungkirbalikkan konsep ‘kodrat’ perempuan. Adakah Al-Qur’an atau Hadits menyebutkan bahwa kodrat perempuan adalah mendidik anak, mengerjakan keperjaan rumah tangga, dan tidak boleh bekerja? Bukankah, Khadijah, istri Rasullullah juga bekerja? Khadijah adalah seorang pedagang yang sukses dan beliau adalah salah satu penopang finansial perjuangan Rasulullah. Juga diriwayatkan, Rasulullah tak segan membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan membersihkan rumah.
Penulis artikel tampaknya rancu dan mencampuradukkan konsep kodrat dan gender. Mengutip pakar gender Indonesia, Masour Fakih mendefinisikan ‘kodrat’ sebagai “Kodratyang tetap, melekat dantidak berubah sebagai penciptaan asal dalam diri seseorang adalah sifat biologis.…yang melekat dan ada pada tubuh seseorang penciptaan dari Allah Swt.” Contoh kodrat perempuan adalah seperti memiliki buah dada, memproduksi sel telur, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Sementara kodrat laki-laki adalah seperti memiliki jakun, memproduksi sperma, dan sebagainya. Inilah yang disebut kodrat dimana kodrat perempuan dan laki-laki tersebut melekat, tetap, dan tidak dapat dipertukarkan.
Sementara itu yang dimaksud ’kodrat’ oleh si penulis sesungguhnya adalah peran gender. Gender adalah atribut-atribut yang dilekatkan oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai sosial dan budaya. Dengan demikian sifat gender ini merupakan konstruksi sosial dan kultural yang bersifat relatif, dapat dipertukarkan, dan berubah dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan jaman. Perbedaan gender ini bisa dicontohkan, misalnya karena perempuan yang melahirkan dan menyusui maka dipersepsikan cocok untuk pekerjaan yang sifatnya pengasuhan, sehingga sesuai pula dengan pekerjaan mengasuh anak dan melakukan perkerjaan rumah tangga. Sementara laki-laki yang diidentikan dengan maskulin, kuat, berani diasumsikan cocok untuk kegiatan dan perkerjaan di luar rumah yang penuh tantangan, melakukan perkerjaan produktif yang menghasilkan uang, bersaing di ranah politik, dan banyak lagi. Atribut-atribut sosial yang dilekatkan oleh budaya ini bisa bergeser, berubah, dan berbeda dari suatu tempat ke tempat lain atau dari waktu ke waktu. Bahkan mungkin bisa bertukar antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dan Kemiskinan Munculnya peraturan kuota 30% caleg perempuan bagi partai-partai politik adalah potret subordinasi gender dalam masyarakat yang memandang perempuan tidak memiliki kemampuan di bidang politik sebagaimana laki-laki sehingga harus ditolong melalui kuota. Padahal tak ada bukti para laki-laki yang duduk di DPR dan DPRD sekarang ini lebih pintar dibanding para perempuan yang dianggap tidak mampu. Secara budaya perempuan dianggap lebih pantas mengurus rumah tangga, mencuci, memasak, tetapi ketika pekerjaan serupa menjadi profesi maka akan kembali didominasi laki-laki. Koki profesional disandang oleh banyak laki-laki, penata rambut, perancang pakaian kebanyakan juga laki-laki. Ketika perempuan masuk dunia kerja bidang kerjanya pun sesuai dengan stereotipe bias peran gender perempuan, sebagai sekretaris, perawat, guru, dan sebagainya. Pola penggajian pun seringkali bias gender dimana standar gaji perempuan seringkali lebih rendah dari gaji laki-laki. [caption id="attachment_248987" align="aligncenter" width="450" caption="Perempuan buruh tani (www.antarafoto.com)"]
[/caption]
Banyak perempuan yang tidak mampu menolak poligami karena mereka tidak mandiri secara ekonomi. Ketergantungan secara ekonomi juga mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tidak hanya terjadi kepada istri, bahkan juga pada anak-anak mereka. Ingatkah anda semua kasus bertahun lalu di Makassar ketika seorang anak perempuan lari dari rumah dan melapor ke polisi karena menjadi korban pelecehan seksual ayahnya. Gadis tersebut terpaksa melayani nafsu ayahnya selama bertahun-tahun dengan sepengetahuan ibunya yang tidak lagi mampu melayani ayahnya. Sang ibu merelakan bahkan ikut membujuk anaknya untuk melayani nafsu seks ayahnya karena sang ibu takut ditinggalkan oleh suaminya sementara dia tidak punya sumber penghasilan selain dari suaminya. Sungguh sedih, tetapi memang nyata terjadi.
Kembali kepada artikel dr. Arum Harjanti di atas, mungkin saja mereka-mereka yang menganjurkan agar para wanita tidak bekerja tersebut adalah wanita-wanita dari kelas ekonomi mapan yang tidak pernah merasakan perjuangan kaum wanita miskin di Nusantara ini. Berdasarkan data dari BPS, tahun 2012, jumlah perempuan kepala rumah tangga mencapai 10 juta jiwa atau 14 persen dari 65 juta keluarga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan. Mereka tidak dapat mengakses bantuan pemerintah dalam bentuk layanan kesehatan, beras miskin, dan bantuan langsung tunai karena mereka tidak bisa membuktikan bahwa mereka adalah kepala keluarga karena tidak adanya surat perkawinan dan akta perceraian sah.
Tahukah mereka bahwa puluhan ribu tenaga kerja wanita kita rela meninggalkan anak-anak dan suaminya pergi ke negara asing untuk menyambung kehidupan ekonomi keluarganya. Mereka memberanikan diri pergi ke tempat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya dan mungkin bahasanya pun tak paham. Tak jarang mereka pulang dalam kondisi mengenaskan karena siksaan sang majikan, bahkan pulang dalam kain kafan. Pernahkah mereka-mereka yang mengatakan tempat perempuan adalah di rumah melihat anak-anak mereka lapar tanpa ada yang bisa dimakan? Pernahkah mereka-mereka merasakan bagaimana rasanya harus sampai menjual harga diri demi sepiring makanan?
Ketahanan keluarga adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Rumah tangga adalah komitmen suami dan istri, tak adil rasanya bila ketahanannya dibebankan kepada istri semata. Kita tidak ingin nasib anak-anak perempuan kita berakhir seperti Osama. Semoga perjuangan Kartini tidak sia-sia. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H