Nama bocah itu, Santiago. Persis seperti nama tokoh dalam novel Sang Alkemis, karya masterpiece Paulo Coelho. Asalnya dari Madrid, dan seperti tokoh penggembala dalam kisah yang konon paling banyak dibaca di dunia pada paruh menjelang millenium baru, ia mempunyai sebuah mimpi besar. Mimpi besar Santiago dalam dongeng Coelho tentu berbeda dengan mimpi besar Santiago anak Madrid, yang fans berat Los Merengues Real Madrid, sebuah klub sepakbola kebanggaan ibukota Spanyol. Malam tadi, ia hadir diantara para Madridista yang memadati Stadion Santiago Bernabeu, yang sama-sama punya mimpi besar seperti dirinya : menyaksikan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan membabat Die Borussen Borussia Dortmund. Mimpi besar yang terasa muluk memang, karena untuk sebuah La Decima- gelar kampiun Eropa kesepuluh- mereka harus menang lebih dari 3 gol tanpa balas atas tim yang diasuh calon pelatih pendatang baru terbaik, Jurgen Klopp, itu. Mimpi Santiago bermula dengan baik, bila melihat bagaimana El Real sepanjang babak pertama berhasil mencegah para pemain Dortmund untuk mengembangkan permainannya. Jose Mourinho, sosok yang seperti Sang Alkemis, diharapkan mampu memberikan nasihat dan memberikan petunjuk supaya El Real bisa mewujudkan impiannya, masih terlihat tenang pun ketika babak pertama berakhir dengan skor sama kuat. Dan bocah kecil Santiago masih memelihara mimpinya. Akal dan hatinya yang polos hanya menimbang kekuatan pasukan El Real yang dihuni para pahlawan sepakbola Spanyol dan dunia, seperti : Sergio Ramos, Cristiano Ronaldo, Xabi Alonso, Angel Di Maria dan Gonzalo Higuain. "Masak 'kan dengan pemain-pemain seperti itu Madrid akan kalah dari Dortmund..."batin Santiago, yang benak bocahnya hanya akrab dengan konklusi bahwa pahlawan biar babak belur diawal kisah akan menang diakhir dongeng. Babak keduapun dimulai. Pasukan Los Merengues, seperti pada babak pertama, kembali melakukan inisiatif serangan. Ketika gawang Dortmund tak kunjung robek, Mourinho yang mulai resah menarik keluar Fabio Coentrao dan Gonzalo Higuain. Karim Benzema dan bintang Brazil, Kaka, masuk kelapangan dengan misi yang tak perlu detil, hanya : mengobrak-abrik pertahanan Die Borussen dan mencetak gol. Upaya ini berhasil, ketika Benzema menjadi aktor dari gol Madrid pada menit ke 83 dan 88. Santiago, seperti juga para fans El Real yang lain bangkit dari duduknya, berharap hasrat akan La Decima kembali terang didetik-detik itu. Suara 9000 orang Borussia yang hadir ditempat itu, yang tadi begitu lantang mengejek dengan yel-yel menyebut nama bintang Barca yang paling mereka benci : Messi...Messi...Messi, kini kalah keras dan gaungnya dari nyanyian Cancion De La Decima. Sayang, mimpi itu buyar persis ketika hasrat telah memuncak. Peluit Howard Webb mengakhiri laga dan Santiago kecil, seperti juga orang-orang dewasa para pendukung El Real, terisak-isak menyadari mimpinya telah punah. Alvaro, sang ayah, menaruh tangannya dipundak si kecil Santiago. Diantara isaknya Santiago mendengar ayahnya bergumam : "Seandainya Santo Iker tampil di leg pertama... seandainya Benzema dan Kaka turun lebih awal... seandainya gol terjadi di menit ke 60... seandainya..." Santiago menuruni tangga keluar stadion dengan langkah-langkah gontai. Tangannya berulangkali mengusap airmata yang turun membasahi rautnya yang inosen. Alvaro, yang sejak kecil juga seorang fans El Real sejati, mengerti betul kesusahan hati anaknya. Disekanya wajah Santiago. Ia tuntun buah hatinya berjalan menuju Real Cafe Bernabeu. Semangkuk Paella De Arroz dengan cumi dan udang didalamnya mungkin bisa meredakan kesusahan hati sang anak. Adapun Alvaro, ia ingin menyantap Albondigas banyak-banyak malam ini. Walaupun, mungkin daging dan saus telur didalamnya tidak akan selezat ketika mereka makan seusai El Classico tempo hari.(aea)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H