Adik sepupu saya yang paling kecil, sedang tergila-gila permainan Herman Li, gitaris Dragonforce. Laki-laki berdarah tionghoa berambut indah itu, telah mencuri perhatian adik sepupu lewat aksi gitarannya yang sangat-sangat full teknik dan cepat. Saya juga tahu Herman Li dari adik sepupu, dan lantas terkaget-kaget menyaksikan appregio-nya yang menurut pegamatan saya yang awam, lebih cepat dari para Speed King seperti : Yngwie J Malmsteen, Paul Gilbert, Marty Friedman atau speed king yang agak dekat era-nya dengan masa kepopuleran Li, yaitu : Jeff Loomis. Nomor Li pertama yang disodorkan oleh adik sepupu dari menu Dragonforce adalah : Through the Fire and Flame. Cari-cari tahu soal lagu ini, ternyata memang betul-betul nomor hits yang mengantarkan Li dan Dragonforce-nya ke puncak popularitas. Lagu yang menjadi best cut di album ketiga Dragonforce, Inhuman Rampage itu, masuk di Billboard Hot 100 dan Canadian Hot 100. Pasca meledaknya nomor bercorak Power Metal –cum- Speed Metal itulah, Li dan Dragonforce melanglang-buana keliling dunia, bahkan diluar sepengetahuan saya sempat mampir di Indonesia. Wah, betul-betul ketinggalan jaman saya. Through the Fire and Flame, selain menyajikan intro dan tempo khas Power Metal yang batu fondasinya diletakkan sekitar medio pertengahan 80-an oleh kelompok Helloween dan gitarisnya, Kai Hansen, menampilkan bagian solo yang pasti membuat pendengar atau penyimaknya tercengang. Pada bagian solo pasca reff pertama, gitaris yang punya nama asli Li Kang Min ini, memainkan solo panjang bersahut-sahutan dengan partner-nya di Dragonforce, Sam Totman. Finger tapping, appregio, permainan tremolo dan teknik manipulasi sound, ditampilkan secara frontal dan total di nomor ini. Saya sudah tidak bisa lagi menyebut permainan Li dan Totman sebagai sekadar “permainan cepat”. Solo di bagian ini tidak bisa disebut sebagai “speed”, melainkan sudah masuk pada derajat “rapid”- sebuah aksi solo guitar yang betul-betul gila. Double guitar solo a la Marty Friedman – Jason Becker pada nomor Sword Of The Warrior ( Cacophony, album Go Off), atau solo gitar versus kibord model Yngwie J Malmsteen-Jens Johansson pada nomor Rising Force (Rising Force, album Odyssey), menurut saya kalah edan dari kolaborasi Li-Totman di nomor ini. Bahkan, dalam unsur melodik atau harmonisasi, Yngwie J Malmsteen- maaf buat penggemar Yngwie- menurut saya berada satu atau setengah tangga dibawah Li. Meskipun, memang tidak bisa dilupakan, bahwa permainan cepat Yngwie J Malmsteen secara basic amat kentara pengaruhnya pada kecepatan permainan Li. Jadi, secara kepeloporan dalam perkara eksplorasi kecepatan dalam teknik permainan metal guitar, Yngwie tentu berada satu tingkat diatas Li. Kendati sama-sama berada di jalur gitaris cepat, ternyata Li tidak pernah menyebut-nyebut para shredder senior seperti Yngwie J Malmsteen, Chris Impelliteri atau Marty Friedman secara langsung, sebagai sosok-sosok paling berpengaruh besar. Li yang aslinya kelahiran Hongkong 33 tahun lalu, tumbuh dan besar di Inggris bersama dengan kekagumannya pada kelompok Helloween dan gitarisnya, Kai Hansen (eks-Helloween, Gamma Ray). Kai, adalah pahlawan masa kecil dan masa remaja Li, ketika ia pertama memutuskan untuk serius memperdalam jurus-jurus gitar rock & heavy metal. Pilihan Li terhadap musik Power Metal yang dipelopori Helloween, bukanlah sesuatu yang umum dikalangan remaja-remaja pendengar musik rock di wilayah Britania Raya. Maka ketika sebagian besar kawan-kawannya bermimpi untuk menjadi setenar dan bermain musik a la kelompok Radiohead, Oasis atau Blur, Li memelihara cita-citanya untuk menjadi Shredder handal termasyhur diatas jalur Power & Speed Metal, yang lahir dan berkembang dari kawasan Jerman dan Skandinavia. Selain Kai dan Helloween-nya, Li tidak pernah menyebut secara langsung nama-nama Shredder senior lain sebagai person-person yang berpengaruh besar. Bisa jadi, permainan Li memang asli merupakan ekstremisasi dari permainan harmonic Kai Hansen, yang notabene lebih banyak cenderung mementingkan riff-riff neo-klasik dan rythm-rythm gagah daripada lick-lick atau teknik yang memukau serta futuristis. Gaya Kai yang diserap Li, disempurnakan Li dengan penggunaan Whammy Bar secara ekstrem, Sweep-Picking yang full speed, juga finger dan pick tapping, yang seringkali menjangkau fret dimana terletak nada-nada tinggi. Itulah racikan utama Li, yang membuat permainan gitar di nomor-nomor cepat Dragonforce seperti : Through The Fire and Flame, Heroes of Our Time, My Spirit Will Go On dan Cry For Eternity terdengar begitu dahsyat. Kedahsyatan aransemen Dragonforce, especially aransemen gitarnya, tidak hanya tersimak dalam materi studio albumnya saja. Menyimak DVD Live In Japan-nya Dragonforce, saya jadi menyesal tidak sempat bahkan tidak tahu bahwa mereka pernah singgah di Indonesia. Untuk mereka yang belum pernah menyaksikan aksi mereka atau belum sempat lihat DVD-nya, bisa menyimak aksi live mereka yang memukau lewat portal Youtube. Li pernah berkata, dalam wawancaranya dengan majalah online, Metal Temple, bahwa para audiens akan disuguhi aksi-aksi yang lebih dari sekadar menonton sebuah band memainkan lagu-lagunya.”I will running around a stage, jumping in the air, playing each other’s guitars, fret it upside down, there is so much energy and we have a very strong interaction with the audience.”ucap Li meledak-ledak dalam wawancara tersebut.”...when we hit the stage we are on fire !”tegas gitaris yang juga mengambil referensi sound dan music untuk aransemennya dari PC-Game itu. Energi Li dalam penggarapan album dan aksi pentas Dragonforce, tidak semata-mata tumbuh dari ketekunannya mempelajari dan menguasai perangkat gitar elektrik. Li, kendati besar di Eropa Barat, amat menggandrungi ajaran kebijaksanaan timur dan seperti rata-rata lelaki Tionghoa, menyukai olahraga beladiri. Kebijaksanaan timur ia gunakan untuk merawat kesehatan ruhani, olahraga beladiri digunakan untuk merawat kesehatan jasmani. Untuk olahraga beladiri Li memilih Brazilian-Ju Jitsu. 5 hari dalam 1 minggu, gitaris yang menyebut “all about computer” sebagai minat lainnya ini, melatih keterampilan beladirinya. Itulah sebabnya, energi dan konsentrasinya diatas pentas seperti tak pernah mengenal kata habis, dan itu pula yang menjadi penyebab Li terbebas dari gaya hidup rockstar yang seringkali akrab dengan alkohol dan narkotika. Untuk mencek kepribadian Li dari jauh, kita bisa menyimak bagaimana murah hatinya ia berbagi pengalaman dan teknik dalam video-video pelajaran gitar yang bertebaran di dunia maya. Seulas senyum dan sekilas canda sudah pasti menjadi pelengkap materi pelajaran yang ia berikan, membuat sesi belajar online menjadi akrab dan jauh dari membosankan. Performa, kreativitas dan kepribadian Herman Li pernah saya terjemahkan kedalam bahasa kanak-kanak, ketika saya bersama anak saya, Rashif, bermain game Guitar Hero III : Legends Of Rock. Ketika saya berhasil mencapai mode Expert, nomor Through The Fire and Flames tampil sebagai bonus track. Anak saya berdecak kagum mendengar musik, khususnya drum dan permainan gitar di lagu tersebut. Maka sambil beraksi mengikuti musiknya, saya bercerita panjang lebar soal Herman Li, pria berdarah Asia yang sama seperti kita, tapi mampu menaklukkan benua Eropa dan Amerika yang banyak melahirkan gitaris dan musisi-musisi tangguh. Rashif yang masih kecil namun punya minat besar terhadap musik, tentu saja belum bisa menyerap keseluruhan paparan saya dengan bulat. Tapi, ketika saya katakan Herman Li itu kira-kira seperti Aang, tokoh dalam serial kartun kolosal, Avatar : Legend of Aang, barulah anak pertama saya yang masih berusia 7 tahun itu mengangguk-angguk kagum. “Ooh, Herman Li itu pemain gitar yang sakti ya, Pa !”katanya, yang langsung saya timpali dengan berkali-kali anggukan antusias.(eap) diarsipkan di : rockabilia.blogspot.com