Walaupun Jokowi dan Prabowo sudah bertemu dan mengajak pendukung masing-masing untuk bersatu dan mengubur identitas 'cebong' dan 'kampret', saya duga polarisasi di masyarakat akan berlanjut hingga pilpres 2024. Pasca pilpres 2014, mereka berdua juga bertemu dan mengeluarkan ajakan yang sama. Kenyataannya polarisasi berlanjut - bahkan dipelihara kelompok-kelompok tertentu - hingga masa pilkada DKI 2017 dan pilpres 2019. Polarisasi juga kekal di DKI Jakarta, antara pro-Anies dan anti-Anies.
Sering saya mengakses medsos dan membaca pertentangan antara para fanatik ini. Jadi bingung, apa mereka tidak merasa lelah ber-fanatisme. Mungkin tidak ya, karena dari posting-nya saya duga mereka merasa menjalankan perintah agama: menyebarkan kebaikan yang dibawa tokoh tertentu dan mencegah keburukan yang diajarkan tokoh lainnya.
Tapi saya tetap gagal paham karena dalam tindakannya seringkali mereka berdebat tanpa dukungan fakta yang kuat. Tanpa nalar, hanya gunakan prasangka.
Polarisasi pandangan dan pilihan politik tentu merupakan esensi demokrasi. Kalau tidak ada perbedaan pandangan, pasti sulit membangun check and balance yang memadai. Tapi polarisasi yang terjadi di Indonesia ini sangat kelewatan. Banyak yang mengorbankan nalar demi politik sehingga sila ke tiga Pancasila menjadi taruhannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'nalar' adalah 'pertimbangan tentang baik buruk', atau dapat pula berarti 'aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis'.
Memang, polarisasi di masyarakat tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal serupa juga terjadi di AS, misalnya. Saya sempat membaca hasil jajak pendapat Monmouth University di New Jersey, pasca pilpres AS tahun 2016, di mana sekitar 7% responden menyatakan kehilangan pertemanan. Jajak pendapat serupa pernah dilakukan di Indonesia oleh PolMark Indonesia, yang hasilnya sama-sama menunjukkan hubungan sosial yang retak akibat pilpres.
Menanggapi dinamika sosial-politik, masyarakat kita berimprovisasi, termasuk memilih mana yang prioritas - pertemanan atau politik. Jika perteman menjadi prioritas, diskusi politik pun dihindari. Daripada ribut atau terjerumus ke dalam perdebatan tak berujung, lebih baik diam.
Sikap seperti ini memang dapat menjaga hubungan pertemanan tapi, menurut saya, justru tidak baik bagi perkembangan nalar. Tanpa ada koreksi atau pendapat yang berbeda, kita menjadi tidak terbiasa dengan pluralisme ide, dan lebih tidak terbiasa lagi jika ide kita dikritik. Yang lebih buruk, tidak adanya koreksi dapat membuat kita merasa benar sendiri.
Fenomena di medsos, untuk post isu politik, banyak yang hanya saling menanggapi mereka yang kemungkinan berada di 'warna politik' yang sama. Isi tanggapannya pun senada: dukungan atas pandangan kita dan ledekan (kadang bahkan cercaan) buat mereka yang beda pandangan.
Nalar, kritik, dan pujian
Ajakan 'think before you post' masih sebatas slogan. Bahkan di Indonesia yang penduduk mayoritasnya beragama Islam ini pun perintah tabayyun nampaknya masih diterapkan secara selektif. Kalau sebuah post di medsos cocok dengan pandangan politik kita, tabayyun bisa dikebelakangkan.