Lihat ke Halaman Asli

Banalisme Tunda

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338865201705607373

Ini selalu tentang mengalahkan bagian paling mengerikan dari relaksasi, menunda. Ia adalah fragmen yang seharusnya tak perlu diingat, tak perlu dikompromikan, apalagi disetujui. Ia harusnya diletakkan pada kardus tebal dengan lakban yang mengitari tiap sisi, lalu diletakkan di atas almari, dibiarkan berdebu, dan tak perlu melamakan segala hal yang semestinya disegerakan. Menunda, hanya jika ia memberi ruang untuk menjadi bijak dan mengikis naif pada masa yang sepatutnya, maka ia bolehlah dipertimbangkan. Menunda, adalah hal manipulatif yang paling bisa dilakukan untuk dua hal yang bertemuan di simpangan. Menunda, adalah mahluk berisi iming-iming, yang pada akhirnya memaksa pria baik menjadi kriminal. Kriminal buat hatimu yang mungil, otakmu yang cemerlang, dan pedalamanmu yang menawan. Maka, yang bernama menunda itu dilakukan dalam praktik yang lihai. Pertama, dengan melebarkan artian harafiahnya sehingga didapati seribuan pembenaran dan validasi yang relevan. Kedua, dengan merincikan praktik yang sepenuhnya berisi muslihat demi kenyamanan sesaat. Ketiga, merubah visi tentang waktu yang berdenyut-denyut itu, menyepelekan bahwa hari sebenarnya pendek, dan selalu optimistis bahwa esok pagi masih akan berada pada tempatnya dengan Tuhan masih terbahak mendengar rencana manusia. Terakhir, tersenyum licik dengan pikiran picik bahwa segala hal yang dilakukan mendekati waktu yang tinggal sepenggal selalu menarik dan menyenangkan. Lalu, mari pilah sengketa ini pada ranah yang jenaka. Mari duduk bersama, melingkar, dan bersila. Mulai bersedialah untuk meringis barang sejenak, jika tak mau, tegakkan badan saja. Lipat sarung dan sajadah yang berminggu-minggu teronggok. Tinggikan derajat buku-buku dengan menyapihnya dari debu-debu yang keterlaluan. Jemur kasur kalau pagi berbaik hati menyelinapkan panas untuk mengembangkan kapuk. Licinkan lantai hingga mengkilap dengan beberapa guyuran air. Buka tirai biar sesekali terlihat tetangga yang melambai dari seberang jalan. Rapikan meja kerja dari recehan koin sisa berlanja minimarket yang katanya hanya mau menerima uang yang mendekati pas itu. Letakkan kursi pada inci yang paling nyaman. Basuh badan yang tiap kali berkeringat baunya membikin lalat senewen. Kalau segar tak jua menghampiri, maka sudah sifatnya setiap pekerjaan dilakukan dengan melawan mentalitas penunda. Toh keduanya sama saja kan, berguling di matras sambil menonton serial komedi atau membaca tulisan cendekia sebenarnya tak benar-benar membuat bahagia. Karena kita berdua tahu, Tuhan tahu, abang-abang siomay juga tahu, yang diperlukan untuk menghina penundaan hanya keriangan. Menjadi riang, kupinjam sebentar diksimu kawan, adalah kenicayaan. *semoga kita tidak bersepakat bahwa menunda adalah budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline