Lihat ke Halaman Asli

Generasi Galau

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi muda kita telah menjadi generasi yang galau. Entah apalah namanya, galau, gundah gulana, nggerus, erupsi hati, yang penting maknanya nyerempet-nyerempet dikit, yang intinya adalah berkutat pada masalah asmara yang padam, pertengkaran dalam suatu hubungan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau rasa cinta yang terpendam. Sebenernya gak harus selalu masalah asmara sih, tapi hal itulah yang umum aku lihat. Ini dapat aku saksikan tiap hari di pernyataan-pernyataan kita di status facebook ataupun twitter. Sejujurnya aku juga termasuk, tapi nggak sering-sering amat lah.

Mungkin memang ada perasaan lega saat kita mengumumkan kegalauan kita kepada teman-teman di FB ataupun follower kita di Twitter. Lama-lama bahkan aku liat kalau galau itu bisa menjadi komoditi. Lihat aja acara di TV yang ada sesi galaunya, atau lagu-lagu yang sebenernya dulu juga udah memiliki unsur galau menjadi semakin galau akut.

Udahlah, aku nggak ngurusin soal itu sih. Tapi yang jadi pikiranku adalah saat aku flashback ke 10-15 tahun yang lalu, ketika itu aku masih remaja dan anak-anak. Di mana FB dan Twitter belum ada. Lalu lagu anak-anak belum “punah”. Hidupku sebagai remaja dan anak-anak cukup damai, tanpa dipengaruhi unsur lingkungan ‘galau’ yang dibentuk di sosial media, lagu-lagu ‘dewasa’ dan lingkungan sekitar. Aku bayangin anak-anak kecil jaman sekarang, masih SD sudah mendengar lagu-lagu yang secara lirik kurang pantas untuk usia mereka. Lalu ditambah mereka secara umum, aku yakin udah punya akun FB ataupun bahkan Twitter. Di FB dan Twitter, mereka membaca status-status galau yang dibuat orang dewasa yang akhirnya mempengaruhi pola pikir mereka. Belum lagi sinetron jaman sekarang yang rata-rata dimana ada cerita percintaan, yang lagi-lagi biasanya memiliki unsur kegalauan.

Akhirnya aku mempunyai sebuah visi masa depan yang menurutku (bisa) memprihatinkan. Jika saja anak-anak itu sekarang sudah galau dalam pola pikirnya, mungkin bisa berdampak di masa depan mereka. Jangan-jangan pola pikir mereka bahwa hidup (hanya) sebuah hubungan percintaan, lalu bisa saja mereka memiliki perasaan selalu kesepian, galau, selalu ingin diperhatikan, dan malas. Sehingga menyebabkan kreatifitas dan aktifitas untuk hal-hal produktif jadi berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline