Tiang-tiang mengirim sinyal ke kutub-kutub bumi, rumah, padang rumput, deru sungai berbatu di jembatan itu adalah kenangan. Beberapa hal menjadi pelajaran.
Ini tentang cara menggenggam dengan lembut. Membelai kulit yang mulai mengerut dan fana. Lewat ribuan peristiwa, akhirnya ada nama yang akan tetap tersimpan di hati ini, tapi tak lagi bersama. Ibarat lukisan hujan di kaca jendela.
Kita akan menua sebagai penjelajah yang tak pernah bosan. Menyenangkan rasanya, aku melihatmu dan tak henti terpesona menemukan di dekatku setiap saat, disaat yang sama kau mengejar sesuatu yang lain. Seperti kanak-kanak diantara barisan kelopak-kelopak bunga yang mekar.
Mungkin saja setelah lewat stasiun ke seratus, jelas bahwa sesungguhnya kau dan aku tak akan ke mana-mana. Bahwa perjalanan adalah rumah. Ini bukan tentang kedatangan. Melainkan ziarah, ke tanah-tanah cahaya, pada makam, bukit, ngarai, reruntuhan, hulu sungai, dan tempat asal mula awan-awan ditiup lalu diapungkan dan menjadikannya hujan yang melebat hutan-hutan.
Saat seperti itu tak penting lagi mengetahui, kereta kita ini akan berakhir di stasiun mana. Karena memang perjalanan selalu menyimpan tujuan rahasia. Aku, begitu juga kamu, pasti tak akan mampu memahaminya, jika perjalanan ini kita lakukan sendiri-sendiri.
Jiwaku seperti rumput-rumput liar merambat, yang akan mengikat dan menutupi raga ini di penghujung waktu, senjakala hidup.
Ragamu ibarat serumpun mawar di pangkuanku. Tak sekerat cerita yang akan bisa kupahami tentang hidupmu, jika saja aku tak pernah berjalan bersamamu. Benarlah katamu, perjalanan ini tak akan mudah, jika kita tidak meninggalkan masa lalu di sungai yang mengalir deras itu, di cangkir kopi bergambar, di bangku taman, atau di peron kehidupan yang bisu. Kita akan mengabaikan segala kebiasaan, baju di jemuran, detak jam, dan peta sebagai pedoman perjalanan melintasi ruang dan waktu. Begitulah kita, mengepakkan sayap melawan arah angin. Membaca arah gerak matahari pagi dan senja. Menyimpan akar yang tumbuh dalam cinta yang keras hati.
Seingat ku, perjalanan ini kita mulai begitu saja. Dengan sedikit rencana, seperti sesendok garam untuk sepanci ikan. Sekantung ingatan kita cukupkan sebagai bekal. Karena kehidupan ini adalah kitab yang amatlah tebal, ujarmu. Dan aku tak ingin membacanya hanya selembar saja.
Sampai waktunya kelak, kita pun pulang, dan meletakkan kepala dengan rambut abu-abu yang menipis, di bantal usang yang baunya sudah kukenal. Sudah kau kenal juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H