Kota Gorontalo sering disebut sebagai Kota Serambi Madinah. Penyematan nama ini merujuk suasana religius yang hadir ditengah kehidupan warga Kota Gorontalo yang mayoritas beragama Islam. Kondisi hidup religious warga bersisian dengan hadirnya adat istiadat yang secara turun temurun terpelihara dalam struktur sosial masyarakat. Paduan keduanya menjadi manifestasi kebudayaan daerah dan menjelma menjadi sebuah bentuk kehidupan yang memiliki kemiripan dengan suasana Kota Madinah.
Wilayah adat Gorontalo di zaman Lipu pra Pohala'a terdiri atas Suwawa (abad ke 6 M), Limutu/Limboto (1330 M), Hulontalo/Gorontalo (1385 M), Bulango/Tapa (1555 M), Atinggola/Andagile (1557 M), dan Boalemo (1845 M). Pada saat itu, konstruksi kebudayaan Gorontalo memiliki pola-pola yang unik yakni progresif, ekspresif namun harmonis dalam bingkai demokrasi.
Konstruksi kebudayaan ini bersandar pada falsafah Adati hula-hula'a to sara, sara'a hula-hula'a to Quru'ani, Adat Bersendikan Syara', dan Syara' Bersendikan Kitabullah. Kondisi ini berkontribusi terhadap bangunan peradaban gemilang di wilayah adat Gorontalo yang mengalami puncaknya pada 1.600 M. Pada puncak kegemilangan saat itu, praktek tatakelola pemerintahan berjalan dengan baik dengan praktek administrasi ketatanegaraan yang bernafaskan Islam. Kehidupan sosial kemasyarakatan ikut sejahtera dan mengalami kemakmuran.
Di era modern, wilayah adat Gorontalo berkembang menjelma menjadi Kota administratif. Kota Gorontalo berkembang menjadi urban area, menjadikan kota sebagai salah satu yang terpadat penduduknya di Provinsi Gorontalao. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota Gorontalo menjadi barometer keberhasilan pembangunan Provinsi Gorontalo.
Pembangunan selalu memiliki dampak negative jika tidak di-manage dengan baik. Kemajuan dan perkembangan Kota Gorontalo ikut diwarnai berbagai perubahan pada struktur sosial kemasyarakatan. Huyula (gotong royong), salah satu pola komunal warga perlahan menghilang. "Marwah" adat dalam kehidupan sehari-hari kian tergerus. Adat istiadat makin terpinggirkan dalam ruang-ruang sempit tempat bertemunya kepentingan pragmatis. Kebanggaan terhadap budaya local memudar terutama di kalangan millennial.
Parahnya kehidupan generasi muda diwarnai hedonism, kondisi dimana keindahan petuah adat tidak lagi dipraktekan. Bonus demografi yang dimiliki Kota Gorontalo akan menjadi bom waktu dengan hadirnya generasi muda yang hidup dengan pola dan gaya luar namun tidak bangga terhadap nilai budaya local. Kondisi ini pada gilirannya akan melahirkan degradasi moral yang menjadi penyebab hadirnya berbagai permasalahan sosial di masyarakat.
Berbagai kondisi di atas dapat menggerus kebudayaan daerah dan akan menggiring arah perkembangan Kota Gorontalo kepada kehidupan yang jauh dari julukan Serambi Madinah. Tidak hanya itu, kerbelanjutan pembangunan kota bisa tidak berarah. Kemajuan hanya akan bertumpu pada perubahan fisik tanpa perubahan mendasar dalam struktur sosial ekonomi masyarakat.
Kota Gorontalo perlu berkembang dengan karakteristik yang membedakannya dari daerah lain. Menjamurnya kota-kota modern di berbagai belahan dunia dibayang-bayangi kehidupan sosial yang tidak kondusif mulai dari friksi hingga konflik komunal. Impian Kota modern berkelanjutan yang berpijak pada kearifan local dalam bingkai filosofis Serambi Madinah sangatlah relevan dengan local endowment factor di Kota Gorontalo.
Dalam konsep kota berkelanjutan, pembangunan kota-kota didesain dalam format keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan. Kota modern yang tetap berpijak pada kearifan local dalam ruang ekologi yang terjaga tidak hanya maju infrastrukturnya dan terjaga lingkungan namun juga memiliki ruang sosial yang kondusif.
Mewujudkan Kota Gorontalo modern yang berbasis pada kearifan local dalam bingkat Serambi Medinah memerlukan sejumlah langkah strategis. Political will pemerintah dan komitmen semua elemen masyarakat menjadi factor penentunya.