[caption caption="Meliuk Jalan Menuju Samudera. Jalan menuju pelabuhan Balohan, Pulau Weh "][/caption]“Dari Sabang sampai Merauku berjajar pulau-pulau,....” sedikit penggalan dari lagu wajib nasional tersebut menceritakan bahwa negeri ini, Indonesia dibentuk atas gugusan pulau-pulau yang mengikatkan diri di bawah naungan bendera merah putih. Sabang sendiri terletak di Pulau Weh yang merupakan pulau kecil di ujung barat Indonesia yang menjadi surga bagi backpacker dan tempat bernaung yang nyaman bagi penduduknya.
Pulau Weh adalah destinasi ketiga kami setelah Medan dan Bukit Lawang. Setelah puas melakukan jungle trekking selama dua hari di Bukit Lawang, kami berpindah lebih ke utara. Perjalanan kami mulai dengan menaiki elf dari Bukit Lawang menuju Binjai selama kurang lebih lima jam.
Etape pertama selama lima jam ini membuat kami bergidik sepanjang jalan. Pasalnya, elf yang sesak, panas dan berdebu ini memacu kecepatan layaknya mobil balap di jalan tol, padahal kondisi jalanan sesungguhnya sungguh berlubang. Sialnya, mobil yang kami tumpangi juga menabrak seekor kucing namun entah bagaimana kucing itu tersangkut di bawah mobil dan terus mengeong selama sisa tiga jam perjalanan kami.
Lupakan soal kengerian tadi, setibanya di Binjai kami segera menuju ke terminal bis. Terdapat beberapa pilihan bis untuk menuju Banda Aceh. Paling disarankan adalah naik bis eksekutif karena aman dan nyaman, harganya pun tidak terlalu mahal yaitu Rp 200.000,-. Perjalanan menuju Banda Aceh ditempuh selama kurang lebih empat belas jam.
[caption caption="Salah satu sudut kota Banda Aceh dilihat dari Ulee-Lheue"]
[/caption]
Bis-bis di Sumatra terbilang unik jika dibandingkan dengan bis di Jawa. Pertama, kaca depan menggunakan tralis besi tambahan yang membuat bis aman dari lemparan batu dan sejenisnya. Kedua, untuk mengusir kantuk, supir bis Sumatra gemar memutar lagu dangdut dengan volume keras, non-stop selama perjalanan berlangsung.
Tiba di Banda Aceh, petualangan sesungguhnya telah dimulai. Kota yang pernah mereguk pahitnya tsunami ini kini telah menemukan kembali geloranya. Sebelum menaiki ferry ke Pulau Weh, kami singgah sejenak ke Pasar Peunayong, dan disana senyum manis dari penduduk lokal seolah menceritakan bahwa Aceh adalah kota yang ramah.
[caption caption="Samudera biru sepanjang pelayaran menuju Pulau Weh"]
[/caption]
Ferry menuju Pulau Weh berangkat pukul 14:00 dari pelabuhan Ulee-Lheue menuju Balohan. Setelah membayar tiket seharga Rp 25.000,- penumpang dipersilahkan naik ke atas kapal dan bebas memilih tempat ternyaman untuk duduk selama 2,5 jam. Kami memilih ngadem di geladak paling atas kapal seraya melihat pemandangan lautan yang menghampar luas.
Pilihan kami tidak salah, beberapa menit setelah kapal berlayar, samudera nan biru menghampar luas seolah tak berujung. Sejenak, sebelum kami mengeluarkan kamera, kami berdoa sejenak mengucap syukur atas berkat pencipta atas bangsa ini.
Motor vs Honda