Lihat ke Halaman Asli

Jejak Senja di Sunda Kelapa

Diperbarui: 19 Agustus 2015   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sunda Kelapa dan airnya yang hitam pekat"][/caption]

Seminggu sudah saya lalui tinggal di Kota Jakarta. Suara klakson yang tanpa henti, jalanan dengan macet parah dan pemandangan akan jejak kemiskinan yang jomplang dengan potret gedung megah, semuanya harus saya lalui dengan berusaha untuk mulai mencintai Jakarta. Daripada menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di Mall yang menguras dompet, lebih baik pergi ke kampung-kampung, mengobrol dengan warga setempat dan siapa tahu bisa dapat ide untuk ditulis. 

Hari Minggu (9/8/15), bersama seorang rekanan Couchsurfing dari Jerman, kami sepakat untuk melakukan Jakarta City Tour dengan berjalan kaki. Bertemu di Taman Fatahillah, kami melepas kangen sejenak dengan saling merangkul. Maklum, terakhir kami bertemu adalah dua bulan lalu saat sama-sama backpackeran keliling Aceh. Traveler Jerman yang adalah seorang wanita ini bernama Anja Freudenberg, karena kami sama-sama orang baru di Jakarta maka kami tidak tahu banyak mengenai tempat mana yang bagus untuk dikunjungi. Terbersit satu ide, yaitu Sunda Kelapa! Ya, dengan harapan di sana kami bisa duduk santai sembari menikmati senja, mengingat hari Minggu itu suasana di Taman Fatahillah lebih menyerupai pasar kaget akibat penuhnya pengunjung lokal. 

Bermodalkan selembar peta yang didapat dari guesthouse, kami meniti langkah ke utara. Hampir seluruh pandangan mata tertuju kepada Anja, mengingat dia adalah Bule yang sudah barang pasti menarik perhatian lelaki genit di sepanjang jalan. "Mister! Mister! Beauty!", teriak orang-orang tatkala kami melintas depan mereka. Kebanyakan orang-orang di sana tidak tahu perbedaan antara Bule perempuan atau lelaki, mereka tetap saja meneriaki Mister! 

Dari jalan raya, langkah kami mulai memasuki kampung padat nan sempit. Tak ada penunjuk arah menuju Sunda Kelapa, ataupun pasar ikan. Posisi Google Maps menyebutkan kalau kami berada di perkampungan Muara Baru. Baiklah, kami singkirkan sejenak gadget kami dan mulai berjalan. 

Gang yang kami lalui memiliki lebar hanya sekitar 1 meter, rumah-rumah tak berteras saling tumpuk dan menempel erat tanpa spasi. Sempitnya gang masih diwarnai lagi dengan motor yang lalu lalang dan anak kecil bermain lari-larian. Namun, di tengah gang sempit tersebut kami menemukan ada beberapa rumah yang memiliki layanan Tv Kabel (Parabola), juga beberapa motor baru yang terlihat dari keluaran plat nomornya. 

Penduduk lokal terbilang cukup ramah, dengan suara keras namun tersenyum mereka berkata "Kesono kalau mau ke Pasar Ikan, kalo ke Sunda Kelapa lurus aja, nanti ada tembok, manjat dikit." Mengikuti arahan penduduk setempat, kami tiba di sisi timur pelabuhan Sunda Kelapa. Tampak kapal-kapal ikan berukuran besar masih merapat, sementara perahu kecil hilir mudik sambil pengemudinya berteriak "Ayo, keliling sini naik perahu, goban aja!" Namun, kami lebih memilih sekedar duduk-duduk dan mengamati karena tidak membawa cukup uang kala itu. 

[caption caption="Air berbau busuk dan pemukiman yang berjejer di atasnya."]

[/caption]

Di tempat kami duduk terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan tiga orang anak. Mereka mengakui bahwa mereka adalah pendatang tapi sudah lama menetap di Muara Baru lebih dari dua puluh tahun. Sang Ayah bekerja sebagai nelayan sedangkan istrinya bertugas menjemur ikan-ikan kecil hasil tangkapan untuk dijadikan ikan asin. Rumahnya begitu sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan utama yang dilapisi dari seng-seng bekas. Sedangkan untuk kebutuhan mck, mereka hanya memiliki satu kamar mandi yang dipakai bersama keluarga lainnya, itu pun lokasinya terbuka. 

"Kalo saya sih sudah lama di sini, mau balik kampung juga udah kaga deket lagi sama orang di sana," tutur Sarman, nelayan setempat yang berbincang dengan kami. Keberadaan wargayang menetap di perkampungan kumuh ini memang dilematis. Satu sisi, bentuk perkampungan super padat seperti ini rawan akan penyakit, bahaya kebakaran dan juga tindakan kriminal. Namun, di satu sisi warga di sini terlanjur nyaman dengan keadaan mereka, kemiskinan seolah menjadi kawan yang setia.

Jika menengok literatur mengenai Batavia seabad silam, dikisahkan bahwa Sunda Kelapa adalah pelabuhan yang mashyur. Kapal-kapal besar dari pelosok Nusantara singgah di sana. Namun, kini jejak kejayaan itu semakin pudar seiring dengan surya yang menyusut ke peraduannya. Tersisa sebuah galangan kapal tua milik VoC dan juga museum Bahari. Selebihnya, jejak itu tersamarkan oleh padatnya perkampungan yang berjuang melawan garis kemiskinan ibukota. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline