Tidak sengaja ketika membuka album foto, fikiran dibuat melayang terbawa ke masa 16 tahun silam ketika memutuskan untuk merantau ke Jakarta pertama kali. Keputusan merantau ini terjadi secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan karena mendapatkan pekerjaan di ibukota setelah menyelesaikan masa studi. Saya yang termasuk anak yang introvert waktu itu dan tidak enakan / sering merasa sungkan (efek culture Jawa) sangat kaget dengan banyak kebiasaan yang sangat berbeda di kota tujuan. Merantau membuat saya menjadi pribadi yang lebih ekstrovert karena Kota Jakarta merupakan tempat berkumpulnya lautan manusia dari berbagai daerah dengan sifat yang bermacam-macam pula sehingga secara tidak langsung saya menjadi beradaptasi ke dalam lingkungan yang bermacam-macam.
Menjadi perantau ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Biaya hidup Kota Jakarta juga tergolong mahal (dari biaya kos, biaya makan dan biaya untuk bersosial). Sebagai anak kos tentunya selalu memutar otak bagaimana caranya agar penghasilan yang diperoleh dapat cukup digunakan untuk hidup, membeli tiket saat pulang dan mengirimkan uang untuk keluarga.
Terlebih ketika kita sakit, tetap harus berusaha mandiri untuk melakukan aktivitas apapun karena mengandalkan kawan juga belum tentu bisa. Jauh dari keluarga benar-benar membuat diri menjadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih bertanggungjawab dari membersihkan lingkungan, menyiapkan makan untuk diri-sendiri, bekerja, melakukan aktivitas yang lain serta memecahkan masalah secara mandiri. Selain itu, ketika pulang dan berkumpul dengan keluarga menjadi sangat terasa nikmat.
Awal merantau memang terasa sangat berat. Ketika sudah mendapatkan lingkungan pertemanan yang mendukung dan mempunyai persamaan visi-misi, justru saya merasa mempunyai banyak keluarga di sana. Waktu-waktu libur sering dihabiskan untuk mengulik lebih jauh mengenai kota ini dengan jalan-jalan bersama teman (baik ke mall, tempat rekreasi ataupun duduk di majlis ilmu). Kehidupan tersebut saya jalani hari demi hari, minggu demi minggu hingga tidak terasa sudah bertahun-tahun berada di Kota Jakarta. Ketika saya memutuskan untuk kembali ke kota asal pada tahun 2019, terkadang saya sesekali merindukan Kota Jakarta.
Banyak sekali kenangan yang sudah terlewati di kota ini. Jakarta yang sering menjadi langganan banjir setiap tahun. Kenangan menerobos banjir tidak dapat terlupakan hingga saat ini. Jakarta juga sering dilanda dengan kemacetan sehingga membuat orang sangat disiplin dan sangat menghargai waktu agar tidak terlambat dan tidak tertimpa kemacetan. Arus transportasi yang sangat cepat dapat membuat kita pergi ke mana pun dengan mudah dan biaya yang murah. Arus informasipun sangat cepat diperoleh karena berada di ring pertama pusat informasi. Untuk mengurus adminstrasi apapun juga sangat mudah.
Pengalaman pulang ke kampung halaman juga tidak kalah berkesan dari moda transportasi bus yang selalu tidak tepat waktu hingga menjadi "anker" (anak kereta). Terkadang terbesit fikiran “kok bisa ya dulu menjalani kehidupan seperti itu.” Setiap awal tahun sudah mencari hari libur di kalender untuk merencanakan pulang. Naik kereta ekonomi yang waktu itu ibarat mau duduk dan berdiri saja susah. Toilet yang juga dipakai penumpang untuk duduk. Banyak pedagang yang berlalu-lalang di kereta. Benar-benar seperti ikan pepes. Ada kalanya nekad pulang hanya dengan bermodal salam tempel. Ketika penataan kereta sudah mulai membaik dan membutuhkan akses KTP untuk masuk ke stasiun, terkadang saya masih membeli di calo ketika terdesak harus pulang mendadak. Pernah adakalanya calo memberikan KTP seorang laki-laki. “Duh hati sebenernya agak deg-degan gimana kalo ketahuan ya di tengah jalan dan diturunkan seketika.” Tidak lupa, agenda rutin tiap tahun untuk war tiket kereta menjelang mudik di pertengahan malam jauh-jauh hari sebelumnya.
Sungguh seru memang pengalaman merantau dan mungkin tidak akan habis diceritakan dalam waktu tujuh hari dan tujuh malam. Sangat menambah wawasan, pengalaman, pertemanan, keluarga, serta tanggungjawab terhadap diri-sendiri.
Aryani Wijayanti