Bogor seolah tak kehabisan tempat wisata baru‘anti mainstream’untuk diburu. Salah satunya Bukit Alesano di Cipelang, Kecamatan Cijeruk. Berbagai unggahan foto yang ‘instragamable’ maupun ulasan di media sosial seolah menjadi magnet bagi para penjelajah alam untuk mengeksplore bukit tersebut. Saya termasuk orang penasaran dengan keindahan yang ditawarkan oleh Bukit Alesano.
Sehari menjelang camping, tepatnya di hari Jumat, saya dan teman sengaja melakukan survey terlebih dahulu. Ternyata tidaklah sukar untuk sampai ke sini. Hanya berbekal informasi dari google dan bertanya akhirnya kami sampai juga di Bukit Alesano. For your information buat yang belum pernah ke sini, tempat ini bisa diakses dengan angkot jurusan Pasar Bogor-Cihideung, turun di Warso Farm, lalu dilanjutkan dengan ojek ke Bukit Alesano (lokasinya berdekatan dengan Balai Embrio Ternak). Harap berhati-hati karena jalanan menuju Bukit Alesano dari arah Warso Farm masih terbilang jelek, apalagi jika musim penghujan akan sangat becek dan licin.
Bukit Alesano tak lain adalah area camping yang cukup luas, namun pengelolaannya masih dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Letaknya tak jauh dari lokasi jatuhnya pesawat sukhoi di tahun 2012 silam. Pemandangan di siang hari terlihat biasa saja, namun akan terlihat indah di pagi atau malam hari. Dari atas bukit kita bisa melihat pemandangan 360 derajat ke sekelilingnya, termasuk Gunung Gede Pangrango, hamparan perbukitan, sawah dan pemandangan kota Bogor dengan rumah-rumahnya yang padat.
Di sebuah pondok kecil di dekat gerbang masuk ke lokasi, kami menemui beberapa pemuda yang sedang berjaga. Usia mereka kelihatan masih remaja, sebut saja Maulana yang masih duduk di bangku SMA, dan Alvin yang hanya tamatan SD. Sambil memegang sebatang rokok, mereka meladeni pertanyaan kami dalam bahasa Indonesia berlogat Sunda.
Untuk camping, tiap orang dikenakan biaya Rp. 10.000,- per malam. Di sana juga menyediakan penyewaan tenda dengan harga sesuai kapasitasnya. Setelah melihat lokasi, kami memesan kavling yang strategis untuk mendirikan tenda, sekaligus minta dipasangkan. Jadi saat kami datang besok sudah langsung terima beres. Ohya, lokasi ini juga sudah dilengkapi dengan toilet, mushola dan warung meski kondisinya masih seadanya.
*****
Kami sengaja memilih waktu camping tidak di malam tahun baru, tetapi di tahun baru, malam tanggal 2 Januari 2017. Angkot jurusan Cihideung sengaja kami sewa sampai ke Bukit Alesano, tetapi malang nasib kami karena mobil tidak kuat menanjak di jalanan berbatu dan terhalang palang portal pertama. Kamipun harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saat itu sedang turun hujan, kamipun berteduh dan beristirahat sembari mencari ojek di depan sebuah warung.
Seorang lelaki meminta uang pungutan sebesar Rp. 5000,- per orang, alasannya untuk retribusi padahal jelas-jelas pungli dan tidak ada tiket resminya. Ia juga menawarkan ojek secara bergantian untuk kami berlima dengan tarif Rp.10.000,- per orang. Dengan terpaksa kami membayar dan menerima tawarannya karena perjalanan cukup melelahkan kalau harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi sungguh menyebalkan, lagi-lagi karena kami diturunkan sebelum sampai di atas bukit namun harus membayar dua kali lipatnya, alasannya jalannya licin. Jadi kami masih harus berjalan kaki lagi sampai ke atas bukit.
Sesampainya di atas bukit, tenda pesanan kami sudah disiapkan. Kami sempat lapor ke beberapa penjaga camping area mengenai pungli yang baru saja terjadi. Mereka bilang katanya sedang dirapatkan dengan pemilik dan pengelola Bukit Alesano. Lalu kami beranjak ke camping area. Angin yang terlalu kencang membuat kami harus berpindah beberapa kali ke kavling yang aman dan bersih supaya tenda tidak tertiup angin. Ada hal yang sungguh memprihatinkan, tumpukan sampah menggunung di belakang pondok penjagaan. Pastilah itu sisa malam tahun baru. Sampah juga banyak ditemukan di pinggir-pinggir petak dan sela-sela rumput. Hal ini tentunya mengundang lalat dan merusak pemandangan. Sepertinya hal-hal semacam ini belum dipikirkan solusinya oleh pengelola tempat wisata.
Sore itu agak mendung tetapi langit masih merona kuning kemerahan. Pemandangan senja itu cukup cantik. Kami menikmatinya dari dalam tenda sembari makan. Semakin sore, orang-orang semakin ramai berdatangan meskipun katanya tidak seramai saat malam tahun baru. Rata-rata pengunjung adalah muda-mudi yang datang bersama para sahabatnya maupun pasangannya, ada pula yang bersama keluarganya. Menjelang malam langit semakin gelap, kerlap-kerlip lampu di bawah bukit mulai bermunculan, namun perlahan menghilang di balik kabut. Udara dingin yang terasa bukan disebabkan suhu yang rendah, tetapi karena angin bertiup semakin kencang.
Karena kabut semakin tebal, pemandangan di bawah semakin tak terlihat. Mata yang begitu mengantuk membuat saya memutuskan untuk tidur lebih cepat. Saat mulai terlelap, tiba-tiba teman saya membuka tenda dan mendapati pemandangan di luar yang begitu indah. Rupanya kabut yang tadi menyelimuti tiba-tiba lenyap, sehingga pemandangan kerlap-kerlip lampu di hadapan mata begitu jelas. Sayapun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengambil gambar. Tetapi karena angin kencang, saya hanya memotret dari pintu tenda.