“Kota yang paling nyaman di Sumatera Barat itu Bukittinggi” begitu ujar salah seorang kawan. Terletak di salah satu rangkaian Bukit Barisan, serta dikelilingi Gunung Marapi dan Singgalang menjadikan topografi kota ini berbukit-bukit. Panorama indah dan udaranya yang sejuk menjadikannya pantas dijuluki Paris van Sumatra. Kota inipun sering jadi tujuan wisatawan asing yang sedang melancong ke Sumbar. Selain wisata alamnya, tempat ini juga banyak menyimpan kekayaan budaya dan sejarah.
Berawal dari tiket promo sebuah maskapai penerbangan, akhirnya membawa saya sampai ke kota ini. Tentu saja sudah terlebih dahulu searching di internet untuk melihat destinasi wisata apa saja yang bisa dikunjungi. Inginnya bisa ke semua tempat, tapi apa daya waktu tak sampai. Yang penting sudah bisa keliling kota meski hanya di atas kendaraan.
Menjelang siang, setibanya di kota ini, ceritanya sempat janjian dengan salah seorang kompasianer yang tinggal di Batu Sangkar, Uni Fitri Yenti. Karena lapar, kami makan siang terlebih dahulu di pasar, menikmati nasi kapau asli Bukittinggi. Setelah itu berfoto-foto di Jam Gadang, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari pasar. Jam Gadang ini tentu saja tidak boleh terlewatkan karena merupakan ciri khas Kota Bukittinggi. Bentuknya artistik dengan bagian atap berbentuk rumah adat Minang. Katanya, mesin jam ini sama dengan Big Ben di London, dan memang hanya diproduksi 2 unit di dunia. Ada yang unik dari jam ini. Tulisan angka 4 romawi tidak ditulis IV, tetapi IIII. Saat itu hari Jumat sehingga suasana di sekitarnya tidak begitu ramai. Beberapa bendi berjejer rapi di depan Jam Gadang, siap mengantar wisatawan berkeliling.
[caption id="attachment_380316" align="aligncenter" width="432" caption="Jam Gadang (Dok. Yani)"][/caption]
[caption id="attachment_380317" align="aligncenter" width="432" caption="Jejeran bendi siap mengantar pengunjung berkeliling (Dok. Yani)"]
[/caption]
Siang yang terik berganti mendung. Sambil beristirahat, kami sholat di mesjid yang tak jauh dari Jam Gadang. Ternyata cuaca sedang tak bersahabat, di luar hujan turun dengan derasnya. Akhirnya kami hanya ngobrol ngalor-ngidul di mesjid sampai ashar, sembari menunggu hujan reda. Tidak sempat kemana-mana. Sebenarnya malam itu, Uni Fitri mengajakku untuk menginap di rumahnya di Batusangkar. Tapi saya tidak bisa menyanggupi karena sudah janji dengan seorang sahabat lama untuk menginap di rumahnya di Bukittinggi. “Maaf ya Uni Yenti, mungkin lain kesempatan ya” :-)
Sore itu juga saya dijemput seorang sahabat, teman semasa kuliah di Bogor dulu. Kami memang sudah 5 tahun lebih tidak berjumpa. Dia sedang studi di Jepang dan saat itu sedang pulang ke kampungnya di Bukittinggi. Sebuah kebetulan yang tidak terduga, karena waktunya bertepatan dengan tiket promo yang saya beli, padahal sebelumnya tidak pernah janjian. Bersama keluarga besarnya, sore itu juga saya diantar berkeliling Kota Bukittinggi. Karena hujan turun dengan derasnya, ditambah rasa capek seharian di perjalanan, saya sama sekali tidak berniat turun ataupun memotret. Akhirnya saya hanya menikmati pemandangan dari dalam mobil saja. Mulai dari Ngarai Sianok, Lubang Jepang, Benteng Fort de Kock, Museum Bung Hatta, semuanya dilewati karena kebetulan letaknya berdekatan di dalam kota.
Rumah sahabat saya terletak di pinggiran Kota Bukittinggi. Tepatnya di Koto Merapak, Ampek Angkek Canduang. Suasananya lengang, rumah dan bangunan sangat jarang, itupun banyak yang kosong karena ditinggal penghuninya merantau ke kota. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan di Pulau Jawa. Masyarakatnya kebanyakan hidup dari bertani atau berkebun. Udara segar minim polusi tentu saja dengan mudah didapat. Sebuah fenomena langka buat saya yang sehari-hari bergelut dengan kemacetan di kota hujan.
Pemandangannya jangan ditanya. Dikelilingi Bukit barisan, Gunung Marapi dan Singgalang serta persawahan di sepanjang jalan. Pokoknya rancak bana!! Saya jadi teringat kota sendiri di Bogor. Di sana juga sama dikelilingi pemandangan Gunung Gede dan Salak. Tapi sayangnya sudah terlalu padat penduduk dan kendaraan, sehingga sudah tindak terlalu nyaman lagi.
Malam itu hujan masih saja turun. Udara dingin membuat saya malas untuk menyentuh air, paling-paling hanya sekedar mencuci muka dan berwudhu saja. Tanpa bising suara motor dan mobil, sayapun terlelap.
Keesokan paginya saya berjalan-jalan menikmati pemandangan di sekitar rumah sambil memotret. Tetes embun di atas daun padi bak kemilau kristal ditimpa sinar matahari pagi yang keemasan. Atap rumah gadang nan meruncing berlatar belakang Bukit barisan membentuk siluet di sisi timur. Kali ini saya benar-benar beruntung karena cuaca cerah. Pemandangan Bukit Barisan dan Gunung Marapi serta Singgalang bisa dilihat dengan jelas, laksana lukisan di kanvas raksasa. Mungkin karena jumlah penduduknya sedikit, jalananpun kelihatan sepi. Hanya sesekali motor atau sepeda yang melintas. Beberapa anak kecil terlihat berjalan kaki seusai keluar dari Mesjid, mungkin selesai mengaji. Seorang perempuan bertopi caping dan kain jarik sibuk membawa entah pupuk atau apa dengan trollynya di jalan aspal yang kosong melompong. Lama ia terdiam memperhatikanku karena terlihat asing. Sedangkan bapak-bapak petani sibuk dengan cangkul dan hewan ternaknya. Potret kehidupan seperti ini gak mungkin ditemui di kota.