Lihat ke Halaman Asli

Mengunjungi Air Terjun “Tempat Pertapaan Mahapatih Gadjah Mada” Madakadipura

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13570057381070932047

[caption id="attachment_225051" align="alignnone" width="600" caption="Air terjun madakadipura membentuk tirai"][/caption] Jika tidak hendak mengunjungi Gunung Bromo seminggu lalu, mungkin saya tidak akan mengunjungi air terjun madakadipura. Nama air terjun inipun baru saya dengar, sepertinya tidak terlalu banyak dikenal. Air terjun ini masih termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru. Sesaat sebelum sampai di Bromo, saya dan teman-teman menyempatkan berkunjung ke air terjun madakadipura. Setelah melewati jalan yang terus menanjak dan bukit-bukit yang menurutku agak gersang serta jurang-jurang di sisi-sisinya menghiasi sepanjang perjalanan, sampailah di depan gerbang air terjun tersebut. Petugas pos penjaga loket langsung memberhentikan mobil kami dan menarik bayaran sebesar Rp. 3000,-/orang. Tapi yang anehnya, karcis tidak diberikan kalau tidak kami minta. Inilah yang membuat kami jadi berprasangka buruk terhadap mereka, jangan-jangan uang hasil penjualan karcis tidak disetorkan ke pengelola resmi tempat wisata itu, tetapi masuk ke kocek sendiri. Ada lagi hal yang bikin tidak nyaman, ketika mobil kami memasuki areal parkir. Beberapa orang yang nampaknya penduduk setempat, dengan setengah memaksa menawarkan jasa sebagai guide. Tapi minta bayarannya mahal sekali, gak tanggung-tanggung, Rp 100.000,-. Wah kalau ini namanya memanfaatkan wisatawan. Saya sempat bertanya-tanya, kenapa sih harus pakai guide. Kalau air terjun kan jalannya sudah jelas. Apa medannya susah sekali ya. Beberapa pengunjung yang kami tanyai bilang kalau sebenarnya tanpa guide tidak masalah asalkan tetap berhati-hati. Saya dan teman-teman akhirnya bersepakat untuk jalan sendiri tanpa guide. Patung Mahapatih Gadjah Mada yang sedang duduk bersila terpajang kokoh di dekat areal tempat berjualan makanan dan minuman. Keberadaan patung ini memang ada kaitannya dengan cerita bahwa tempat ini dahulunya adalah tempat bersemedinya patih yang terkenal dari Kerajaan Majapahit. Rombongan kami mulai berjalan ke menyusuri jalan setapak dengan posisi saling berpencar untuk menghindari guide. Satu orang guide ada yang tetap memaksa untuk mengantarkan dan terus mengikuti kami. “Mbak kalau di sini harus pakai guide, soalnya bahaya” “Gak usah, saya udah pernah ke sini koq” tegas salah seorang temanku dalam bahasa jawa. Padahal saya tahu dia sama sekali belum pernah ke sini. [caption id="attachment_225053" align="aligncenter" width="400" caption="Sungai dengan air berwarna coklat"]

13570058281530928272

[/caption] [caption id="attachment_225054" align="aligncenter" width="400" caption="Jalan setapak (1)"]

13570059261326193302

[/caption] [caption id="attachment_225055" align="aligncenter" width="400" caption="Jalan setapak (2)"]

1357005980290100137

[/caption] Setelah beberapa meter berjalan di jalan setapak, kamipun harus menyebrangi sungai yang berbatu-batu. Si guide tetap ngotot mengikuti kami, sambil tetap terus berusaha menunjukkan jalan. Beberapa kali dia berusaha menjulurkan tangannya untuk membantu saat meloncat dari batu ke batu. Tapi temanku menampiknya, kami memilih jalan kami sendiri di antar bebatuan dan aliran sungai. Akhirnya lama-kelamaan si guide menyerah dan tidak mengikuti kami lagi. Jalan menuju air terjun madakadipura memang agak susah. Jalan setapak yang disemen banyak yang terputus. Beberapa kali kami harus turun ke sungai dan melewati batu-batuan besar. Bahkan ada batu besar yang menutupi jalan setapak kami, padahal di sebelah kanan jalan ada sungai yang letaknya agak dalam. Menurut berita di daerah ini sering terjadi longsor dan banjir. Kami mempercepat langkah kaki. Mendung agak tebal tampak menggantung di langit, hari memang sudah lewat tengah hari. Rintik-rintik kecil hujan mulai berjatuhan di atas tanah. Air sungai yang kami lewati nampak berwarna coklat, mungkin karena musim hujan. Beberapa pengunjung ada yang baru datang berjalan di belakang dan di depanku. Banyak pula rombongan yang sudah balik dari air terjun itu dengan baju yang basah kuyup. Kami berpapasan dengan seorang ibu yang tampak kelelahan dan ditemani dengan seorang guide. Dia bilang air terjunnya besar dan bagus tapi jalannya masih jauh banget, lewat jalannya juga di antara batu-batu dan aliran sungai. [caption id="attachment_225063" align="aligncenter" width="450" caption="Air terjun berwarna coklat dari kejauhan"]

13570064191837544673

[/caption] Rasa lelah mulai terasa di badan apalagi ini sudah waktunya makan siang. Tapi kami terus saja berjalan. Akhirnya tampak dari kejauhan air terjun yang mengalir dari tempat yang paling tinggi, tapi airnya berwarna coklat keruh. Itu pasti air terjunnya, pikirku. Saya semakin mempercepat langkah. Setelah melewati jembatan kecil yang beberapa bagiannya agak bolong, di sisi kiri terlihat air terjun. Tidak terlalu besar tapi airnya jernih. Beberapa pengunjung tampak sedang berfoto di sana. Saya ingin mampir ke situ tapi tidak ada akses jalan dan harus menyibak semak. Ada yang mengatakan kalau di sana banyak ular. [caption id="attachment_225057" align="aligncenter" width="400" caption="Air terjun kecil sebelum sampai di air terjun yang utama"]

13570060461553292455

[/caption] Setelah menempuh perjalanan setengah jam lebih akhirnya tanda-tanda air terjun madakadipura terlihat juga. Hujan mulai turun makin deras. Cepat-cepat saya pakai mantelku supaya tidak kebasahan. Terlihat banyak pengunjung berkerumun di sana, tetapi sepertinya mereka akan berbalik pulang. Ada juga lapak-lapak penjual makanan dan minuman yang ramai dikerumuni orang. Beberapa penjual menawarkan payungnya, mereka memperingatkan supaya jangan berlama-lama di air terjun itu karena berbahaya. Kami berjalan ke arah air terjun itu. Hujan semakin lebat. Saya tidak berani mengeluarkan kamera DSLR, jadi hanya memakai poket saja. Air terjunnya deras sekali, mengalir dari tebing di atasnya yang memanjang membentuk seperti tirai air. Indah sekali, tapi saya agak kesulitan memotretnya. Hujan deras membuat debit aliran air terjun semakin tinggi, bebatuan terasa makin licin dan mantelku semakin basah. Jika kita berjalan agak ke atas lagi, mengikuti air terjun yang berbentuk tirai itu, maka akan menemui dinding tebing yang melingkar. Kita akan merasa seperti berada di dalam sebuah tabung raksasa dengan kolam di bawahnya. Saya hanya bisa menyaksikan tempat itu dari kejauhan. Hanya air terjun di atasnya yang bisa saya potret. Air terjun yang paling tinggi berwarna coklat, itu air terjun yang terlihat dari kejauhan. Beberapa teman mencoba ke sana sebentar, meskipun sudah diperingatkan oleh penduduk setempat supaya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. [caption id="attachment_225058" align="aligncenter" width="400" caption="Air terjun tirai"]

1357006114932540972

[/caption] [caption id="attachment_225059" align="aligncenter" width="534" caption="Puncak air terjun madakadipura (1)"]

13570061891938036652

[/caption] [caption id="attachment_225060" align="aligncenter" width="500" caption="Puncak air terjun madakadipura (2)"]

13570062721720486658

[/caption] Dari beberapa artikel yang saya baca di internet, air terjun madakadipura ini merupakan gabungan dari tiga titik air terjun. Satu titik air terjun curahannya menyebar membentuk tirai air. Dua titik air terjun lainnya curahannya memusat. Salah satunya di antaranya, airnya tercurah dari rekahan bebatuan di bibir tebing dengan tinggi sekitar 100 meter. Tempat ini memang benar-benar eksotis meskipun terkadang terasa menyeramkan. Apalagi kalau mengingat banjir dan longsor bisa terjadi kapan saja dari atas tebing, mungkin kita akan terperangkap di dasar ‘tabung raksasa’ itu. Pantas saja Mahapatih Gadjah Mada memilih air terjun ini sebagai tempat menyepi hingga akhir hayatnya. Berbagai legenda mengenai Madakadipura bisa kita googling di internet. Kami tidak lagi berlama-lama di tempat ini. Hari semakin siang. Setelah berfoto-foto sebentar tanpa sempat bermain air, kami kembali ke mobil. Saatnya meneruskan perjalanan menuju Bromo. Hujan semakin mereda sekembalinya dari air tejun madakadipura. [caption id="attachment_225061" align="aligncenter" width="400" caption="Menuju jalan pulang"]

13570063311901139750

[/caption] Sayang sekali kunjungan kami ke sana bukan di pagi hari saat matahari bersinar. Sebenarnya saya ini merasakan berada di dasar ‘tabung raksasa’ itu. Saya juga ingin melihat pelangi yang katanya sering muncul karena pembiasan cahaya matahari yang mengenai air terjun. Dan tentu saja agak lama di sana untuk mengabadikan keindahan air terjun madakadipura ini. Semoga saja ke depannya fasilitas di tempat ini bisa diperbaiki dan dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah setempat, sehingga para pengunjung bisa berwisata ke air terjun madakadipura dengan aman dan nyaman. Salam jalan-jalan Bogor, 1 Januari 2013 Tulisan Lainnya : Bromo : Tetap Memikat Meski Tanpa Sunrise dan Berkabut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline