Lihat ke Halaman Asli

Kisah Istri ‘Pecinta (Gila) Harta’, Anak dan Suami Jadi Ikut-Ikutan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_102884" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi : www.share-peristiwa.blogspot.com"][/caption] Di zaman sekarang ini, harta memang sesuatu yang penting. Tapi kalau sampai diperbudak harta, waduh jangan sampai deh. Karena mengumpulkan harta itu seperti meminum air laut saja, semakin diminum akan semakin haus. Inilah kisah nyata yang terjadi pada sebuah keluarga, masih ada hubungan kerabat juga denganku. Keluarga itu masih lengkap, ada suami dan istri, dan tiga orang anak. Anak pertama dan kedua laki-laki, sedangkan yang ketiga perempuan. Sebut saja A, B dan C. Si suami sekarang sudah pensiun, usianya hampir atau mungkin sudah 60 tahun. Si isteri ini sebenarnya termasuk orang yang terampil dan cekatan. Ia menguasai keterampilan memasak dan menjahit. Dulu pernah terima jahitan, tapi sekarang berganti usaha catering. Kemampuan wirausahanya hebat deh, maklum dia kan keturunan Tionghoa. Namun sayangnya, banyak yang bilang si isteri ini perhitungan alias pelit banget. Itulah ungkapan yang sering saya dengar tentangnya. Dan saya lihat kenyataannya memang seperti itu. Kepada anak-anaknya, ia selalu mendoktrinasi bahwa harta itu segalanya. Ketiga anaknya sepertinya nurut-nurut saja, begitu pula suaminya. Kalau ketemu dia pasti yang diomongin gak jauh-jauh dari harta. Ngomongin beli rumahlah, tanah, mobil, pokoknya yang berbau-bau duniawi saja, sampai neg banget deh dengernya. Katanya untuk bekal di hari tua. Tapi untuk akhiratnya sendiri gak pernah dipikirin. Dan keinginan terhadap harta itu tidak diimbangi dengan bersedekah atau kegiatan sosial. Mana pernah dia ngomongin masalah zakat atau infak, mungkin tidak ada dalam kamusnya. Bahkan saudara yang pernah tinggal di rumahnya bercerita kalau si isteri itu memperlakukan pembantunya sangat tidak layak. Ditaruh di kamar yang mungkin pantasnya disebut gudang, terus makanpun diberi yang sisa tapi tenaganya dieksploitasi. Apalagi dengan adanya usaha catering, tentu kerjaan yang dibebankan ke pembantunya semakin banyak. Belum lagi mendengar omelan-omelannya yang bikin panas telinga. Makanya ia sering sekali gonta-ganti pembantu. Si isteri yang pecinta harta itu tentu saja sangat silau melihat kekayaan dan orang ber’uang’. Makanya sikapnya sangat diskriminatif terhadap orang miskin atau tidak mampu. Kebetulan keluarga si isteri termasuk mampu, berbanding terbalik dengan keluarga suaminya banyak yang tidak mampu. Kepada saudara-saudara suaminya yang tidak mampu, boro-boro mau membantu, berkunjung saja gak mau. Saya sering sekali dengar cerita kalau dia jarang/tidak pernah berkunjung ke rumah adik-adik iparnya jika pulang kampung. Pokoknya kalau urusan pergi untuk rekreasi/senang-senang, dan dia tidak keluar uang, dia pasti ikut. Tapi kalau urusan mengunjungi saudara yang gak mampu dan dia harus mengeluarkan biaya karena membantu orang miskin, dia pasti gak mau. Yang repotnya lagi, si suami sepertinya selalu mengikuti perkataan isterinya. Ia juga jadi jarang berkunjung ke rumah adik-adiknya atau saudara lain, apalagi membantu. Bahkan adiknya ada yang sampai sakit hati karena gak pernah ditengok dan dibantu padahal sangat butuh bantuan dana. ******************** Ketiga anak mereka juga sudah bekerja. Sepertinya si isteri menuntut ke semua anaknya untuk menghasilkan uang banyak atau gaji besar. Sama seperti suaminya, sepertinya anak-anaknya juga ikut saja doktrin ibunya tentang harta. Si A, anak laki-laki pertama, tidak terlalu bagus kariernya. Dulu pernah kuliah di Yogyakarta, tapi tidak selesai. Beberapa kali gonta-ganti kerjaan dan jadi pengangguran. Terakhir saya dengar, si A dimasukkan untuk bekerja di salah satu perusahaan, entah sebagai apanya. Kabarnya si A sering diomeli ibunya sewaktu tidak bekerja karena tidak ada pemasukan. Si A juga sering kabur ke rumah saudara, mungkin gak tahan diomelin terus oleh ibunya A pernah menikah dan dan punya dua orang anak, tetapi sekarang sudah bercerai. Yang saya herankan, si isteri itu sering menceritakan keburukan mantan menantunya di depan saudara-saudara lain. Bayangin aja, yang mendengar juga capek kali, masa aib orang lain dibuka-buka. Sekarang si A menjalin hubungan dengan janda beranak 1. Tetapi karena bukan dari keluarga kaya (katanya cuma anak penjahit), makanya tidak disetujui. Namun kabar terakhir yang saya dengar si A menikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya. Lain lagi cerita anak laki-laki kedua, si B. Ia kuliah D3 di salah satu perguruan tinggi swasta mahal di Jakarta. Sekarang sudah jadi PNS di salah satu kementerian. Tapi masuknya bukan dari hasil murni tes tapi bayar 80 juta. Lho koq saya bisa tahu ya?!! Eitts...ini bukan gosip, tapi si isteri itu sendiri yang cerita ke saya dan saudara-saudara lainnya. Bahkan sepertinya ia bangga sekali anaknya masuk PNS dengan jalan seperti itu, heran ya... Sekarang si B sudah berkeluarga dan punya rumah, tentu saja ibunya sangat membangga-banggakan ini. Anak perempuan terakhir, si C, adalah lulusan D3 sekretaris dari salah satu akademi sekretaris di Jakarta. Kariernya cukup bagus, kalau gak salah sekarang sebagai sekretaris orang berkebangsaan Amerika. Gajinya pasti lumayan dan pasti inilah yang diinginkan oleh ibunya. Sekarang si C sudah menikah. Saya ingat dulu C pernah berpacaran dengan seorang pemuda, tapi tidak disetujui ibunya karena kerjanya belum jelas dan tidak punya penghasilan tetap. Si C menurut saja meskipun sempat nangis-nangis karena putus dengan pacarnya. Dia akhirnya menikah dengan orang pilihan orang tuanya, yang jelas gajinya lumayan karena ia bekerja di perusahaan kontraktor terkemuka. Keluarga suaminya dari Kudus juga rata-rata sudah haji, pokoknya termasuk keluarga berada lah. Kalau gak gitu mana mungkin disetujui ibunya kali hehehe. Tapi saya benar-benar heran, setelah beberapa tahun si C menikah. Rupanya ada teman kerjanya si C dari Pertamina, yang naksir si C. Ia mengira si C masih single. Rupanya ibunya tahu dan cerita ke saudara kalau menyesal sudah menikahkan anaknya dengan suami yang sekarang karena ternyata ada orang yang lebih kaya yang mau sama putrinya. Wah capek deh, begini nih jadinya kalau tujuannya adalah harta. Sekarang suami si C sering disindir-sindir oleh ibunya si C, gara-gara proyek pekerjaannya sedang sepi. Kasihan banget tuh punya mertua kayak gitu, mana masih tinggal satu rumah lagi. Saya gak tahu apakah sekarang sudah mulai terdoktrinasi gila harta seperti mertuanya atau tidak. Kabarnya si C sibuk sekali dengan kariernya, bahkan di hari liburpun sering masuk kerja. Kasihan anaknya ditinggal di rumah. Mungkin sudah terdoktrinasi ibunya juga bahwa harta adalah segalanya. ***************** Ternyata selain gila harta, si isteri itu juga gila PNS. Dia selalu bilang kalau jadi PNS itu enak, kerjanya santai tapi dapat gaji tetap. Setelah sukses memasukkan anaknya si B menjadi seorang PNS dengan jalur membayar 80 juta. Rupanya ia mencoba lagi untuk anaknya si A dan menantu laki-lakinya. Benar-benar gak habis pikir deh, uang segitu buat apa untuk bayar PNS, mending buat mengembangkan usaha atau bantu saudara yang kurang mampu. Lagian bukannya menantunya itu kerjanya di swasta yang gajinya lebih gede dari PNS ya. Tapi kabarnya sih tidak sesukses si B, karena mereka ketipu, uangnya ludes tapi sampai sekarang si A dan menantu laki-lakinya belum jadi PNS juga (rasain deh!!! hehehehe). Ada lagi yang saya heran, dengan usia yang sudah setua itu dengan anak yang sudah besar-besar semua, si isteri masih saja sibuk menerima pesanan catering. Kayaknya hidup ngoyo banget untuk cari uang, padahal harta gak akan dibawa mati. Sayangnya suami dan anak-anaknya jadi ikut-ikutan terlalu cinta harta semua, tanpa berpikir kalau dalam harta itu ada hak orang lain yang harus diberikan. Rupanya harta sudah menggelapkan mata hatinya. Sepertinya mereka juga tidak pernah berpikir bahwa ada kehidupan akhirat setelah mati. Mungkin sekarang hidupnya dienak-enakin dulu, sebelum nanti dijatuhkan dari tempat yang tinggi, tentu saja rasanya akan lebih sakit. Begitulah kalimat yang sering diucapkan oleh saudara-saudara. Tapi saya sih berharap mereka sadar, terutama si isteri, bahwa harta itu bukan segalanya. Dan membagi harta kepada orang yang membutuhkan itu bukan berarti membuat seseorang jadi miskin, tetapi justru malah menambah pahala dan kekayaan seseorang. Semoga kisah ini bermanfaat. Selamat berhari minggu. Di Bogor hujan melulu euy!!! :-) Bogor, 24 April 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline