[caption id="attachment_101614" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Wandi dan isterinya (Dokumen pribadi)"][/caption]
Menjadi tukang becak bukan berarti miskin dan tidak punya apa-apa. Bisa jadi mereka punya kebun garapan yang luas di kampungnya dan punya anak-anak yang sukses. Ini yang terjadi pada Pak Wandi, seorang tukang becak asal Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Ini sebenarnya kisah lama sewaktu saya sedang survey umbi-umbian bulan November 2008 di daerah DI Yogyakarta. Saya ceritakan seingatnya karena kejadiannya sudah lama juga. Saya dan seorang teman menginap di Hotel Trim 2, di ujung Jl. Pasar Kembang dekat Malioboro, di seberang Stasiun Tugu. Kalau orang Yogya pasti tahu tempatnya. Atau jangan-jangan malah pernah ketemu juga dengan Pak Wandi. Perkenalan kami dengan Pak Wandi dimulai di sini. Beliau setiap hari selalu mangkal di depan Hotel Trim 2. Pagi hari itu kami pergi mencari makan sambil menumpang becaknya. Temanku juga ingin mengunjungi saudaranya di dekat Malioboro. Pak Wandi orangnya banyak cerita jadi selama mengayuh becaknya dia selalu bertanya dan mengajak kami ngobrol. Kebetulan temanku juga orang Yogya dan senang ngobrol juga, jadi nyambung deh. Maka terjadilah obrolan yang seru selama perjalanan di becak Karena waktu itu kami sedang berburu umbi-umbian dan tepungnya, kami sekalian menanyakan infonya pada Pak Wandi, apakah beliau tahu tempatnya jenis umbi-umbian yang sedang kami cari seperti garut, ganyong, uwie, gadung, suweg, gembili dan semacamnya. Beliau menjawab kalau tanaman seperti itu banyak sekali di kampungnya (daerah Wonosari), bahkan dijadikan makanan sehari-hari. Pak Wandi juga bilang kalau di Pasar Beringhardjo juga banyak dijual umbi-umbi semacam itu. Akhirnya kami sepakat untuk menjadikan Pak Wandi sebagai penunjuk jalan/guide untuk mengantar berburu umbi-umbian di daerah Wonosari. Dan ternyata beliau setuju saja. Keesokan harinya, kami berempat bersama sopir meluncur ke sana. Selama perjalanan, kami selalu berbincang-bincang. Beliau bertanya buat apa sih nyari umbi-umbian. Kami menjawab kalau ini untuk penelitian mengenai keanekaragaman pangan. “Wah enak ya jalan-jalan terus” celetuknya “Ya, saya sering sekali pergi-pergi dalam rangka tugas” kata temanku “Emang ibu sudah kemana aja?” tanya Pak Wandi pada temanku “Wah saya sudah pernah tugas hampir ke seluruh Indonesia” jawab temanku “Wah ibu hebat ya, orang sekolahan sih. Kalau saya dulu pernah tinggal di Sumatera, tapi jadi kuli. Soalnya saya bukan orang sekolahan, tapi anak saya sekolahin semua” jawab Pak Wandi dengan bahasa Jawa yang medhok. “Lho memang Pak Wandi anaknya berapa?” tanyaku penasaran Pak Wandi mulai bercerita, tapi saya tidak terlalu ingat detilnya, maklum sudah dua tahunan yang lalu. Kalau gak salah beliau punya 3 orang anak. Anak laki-laki pertama, lulusan teknik perminyakan UGM, saya lupa S1 atau S2 gitu. Kerjanya di Balongan Indramayu (kalau gak salah). Rupanya sewaktu kerja di sana, ia ditaksir putri bosnya di kantor yang orang Banjarmasin, akhirnya mereka menikah dan sekarang sudah punya anak. Anak yang lain ada yang kuliah di Universitas Negeri Yogya (UNY) dan ada yang sarjana juga (lupa nama universitasnya) tapi malah buka usaha rumah makan. Yang jelas gak ada yang jadi tukang becak kayak Pak Wandi hehehe. Gak nyangka euy sekolahnya sampai kuliahan semua. Tak terasa kami sudah memasuki Kabupaten Gunung Kidul, ternyata Yogya-Gunung Kidul jauh juga ya, sepertinya perjalanan yang ditempuh selama 2 jam. Gak kebayang Pak Wandi menempuh perjalanan Yogya-Wonosari sejauh itu, tapi beliau bilang terkadang pulang ke rumah hanya sebulan atau dua minggu sekali. Saya bertanya “emangnya gak kangen sama istri?”. Beliau malah mejawab “kalau sering ketemu malah bosan nanti”. Saya hanya tertawa saja mendengarnya. Tapi jalanan ke sana sudah mulus dan tidak macet. Waktu itu musim penghujan jadi, daerah sana terlihat hijau dan subur. Kami akhirnya memasuki desa tempat tinggal Pak Wandi di daerah Wonosari. Sebelum sampai di rumahnya kami ketemu pamannya yang sudah tua renta. Rumahnya juga biasa banget. Tapi katanya sebentar lagi mau naik haji, karena pohon jatinya sudah laku terjual. Di sana memang kulihat banyak pohon jati. Kata Pak Wandi, satu pohon yang sudah berumur sekitar 20 tahun bisa laku sampai 15 juta. Wah bisa kaya tuh dengan pohon jati. [caption id="attachment_100179" align="aligncenter" width="300" caption="Pohon jati dan kebun jagung di desanya Pak Wandi (Dokumen pribadi)"][/caption]
[caption id="attachment_100182" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan di depan rumah Pak Wandi (Dokumen pribadi)"]
[/caption] Sesampainya di rumah Pak Wandi, kami disambut oleh istri beliau. Pak Wandi langsung mengambil cangkul dan mulai mengambilkan umbi-umbian yang kami cari. Lahan di sana memang luas-luas. Pantas kalau Pak Wandi bilang, “kalau di desa orang miskin tapi masih punya lahan dan rumah, coba di kota kayak Jakarta cuma punya petak 2 x 1 meter. Bahkan ada yang tinggalnya di kolong jembatan. Tapi heran koq orang masih seneng tinggal di kota sih”. Aku hanya menjawab “biasalah pak ngejar gengsinya aja, fatamorgana kehidupan hehehe”.
[caption id="attachment_100181" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Pak Wandi (Dokumen pribadi)"][/caption]
[caption id="attachment_100184" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Wandi sedang membantu menggali uwi (Dokumen pribadi)"]
[/caption]
Rumah Pak Wandi luas juga, meskipun sederhana dan gak pakai lantai keramik. Di sampingnya ada kandang kambing kecil. Rupanya beliau senang memelihara ternak juga. Di sana kami disuguhi macam-macam makanan khas desa alias rebus-rebusan seperti jagung dan pisang rebus, ada juga peyek buatan istrinya dan buah mangga hasil panen sendiri. Di sana tempatnya enak, tenang karena jauh dari keramaian kota.
[caption id="attachment_100180" align="aligncenter" width="300" caption="Kandang kambing di samping rumah Pak Wandi (Dokumen pribadi)"]
[/caption] Ya lumayan banyak umbi-umbian yang kami dapat di rumah Pak Wandi. Setelah membereskan dan memotret umbi-umbian yang didapat, kami berbincang-bincang sebentar bersama Pak Wandi istrinya. Beliau cerita kalau isterinya itu dulunya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), tapi karena keburu kepincut dan menikah dengan Pak Wandi akhirnya gak jadi guru deh hehehe. Ya gak apa-apalah, paling tidak sudah jadi guru bagi anak-anak mereka sampai bisa sukses seperti sekarang. [caption id="attachment_100183" align="aligncenter" width="472" caption="Berfoto bersama Pak Wandi dan istrinya (Dokumen pribadi)"][/caption] Kamipun tidak lupa berpotret ria bersama beliau dan istrinya. Setelah itu kami pamit, Pak Wandi masih tetap ikut bersama kami karena kami juga memintanya untuk menemani perjalanan berikutnya ke Temanggung dan Kebumen. Sepulangnya dari sana temanku mengajak mampir ke rumah makan yang ada masakan dari belalang atau jengkerik gitu. Hiii aneh banget sih, boro-boro mau makan, ngeliatnya aja sudah geli. Kami juga sempat mampir ke Pantai Baron dan Krukup di daerah selatan Gunung Kidul. Selama perjalanan pulang saya sempat bertanya pada Pak Wandi “Ngapain sih capek-capek jadi tukang becak, lha wong anaknya udah sukses semua. Terus rumah dan kebun juga ada, tinggal duduk santai saja di rumah, hidup tenang bersama isteri di kampung” Beliau menjawab “Saya kalau gak narik becak malah pusing dan badan pegel semua, soalnya sudah biasa, itung-itung sekalian olahraga”. Beliau mengaku waktu itu usianya sudah 62 tahun, kukira masih kurang dari 60 tahun. Keesokan harinya kami menunggu kedatangan Pak Wandi karena akan kami ajak survey umbi di daerah Temanggung. Tetapi sudah sekian menit ditunggu koq gak datang-datang. Temannya sesama tukang becak mengabarkan kalau beliau kurang enak badan jadi gak bisa ikut untuk hari ini. Tetapi beliau menjanjikan untuk perjalanan berikutnya bisa ikut menemani. Akhirnya hari itu kami pergi sendiri tanpa Pak Wandi. Hari berikutnya, saya dan teman survey ke daerah Kebumen dan sekitarnya, dan waktu itu Pak Wandi bisa ikut. Saya tanya kenapa kemarin koq gak ikut ke Temanggung. Dia menjawab kalau tidak terbiasa naik mobil ber-AC jadi malah masuk angin. Rupanya beliau sudah biasa pakai AC alami alias ‘Angin Cemilir’ jadi malah gak tahan dengan AC beneran hehehe. Umbi yang kami dapat di Kebumen tidak sebanyak di Rumah Pak Wandi. Sepulangnya dari sana, kami sempat mampir ke Pasar Beringhardjo untuk mencari tepung umbi-umbian. Lumayanlah selama di Yogya dapat guide macam Pak Wandi, bahkan beliau sempat membantu kami sewaktu packing barang-barang yang kami peroleh selama di sana untuk dikirim ke Bogor. Untung ada Pak Wandi, terima kasih Pak :-) Hanya sayangnya waktu kami akan meninggalkan Yogya, tidak sempat pamit karena beliau sedang pulang kampung karena di rumahnya ada kenduren. Waduh fotonya juga belum sempat dikasih ke Pak Wandi, padahal waktu itu dia minta untuk kenang-kenangan katanya. Beberapa waktu lalu, teman saya sempat ke Yogya lagi tapi tidak sempat memberikan fotonya karena temanku malah sakit jadi gak sempat kemana-mana. Begitulah beberapa hari bersama Pak Wandi di Yogya. Seorang tukang becak dari Wonosari, yang tetap memilih menarik becaknya meskipun usianya sudah tua dan anaknya sukses semua serta kebunnya cukup luas. Entah sekarang ini dia masih di situ atau tidak. Semoga bermanfaat Bogor, 12 April 2011 Notes : Buat yang tinggal di Yogya, tolong dong diliatin apa beliau masih mangkal di depan Hotel Trim 2 atau tidak ya, kalau ada titip salam ya hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H