Lihat ke Halaman Asli

Bogor di Mataku : Kecil, Semrawut tapi Tetap Nyaman dan Selalu Jadi Incaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_159317" align="alignright" width="225" caption="Tugu Kujang (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption] Siapa yang tidak tahu Bogor, bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Jabodetabek, pasti sudah tidak asing lagi. Bogor yang pada tanggal 3 Juni lalu berusia ke-428 tahun, dari dulu sangat dikenal dengan julukan kota hujan karena curah hujannya relatif lebih tinggi dibanding kota-kota lain di Indonesia. Tapi sepertinya julukan itu sudah agak bergeser menjadi kota seribu angkot karena saking banyaknya angkot di sini. Bagi saya Bogor itu berkesan banget, karena saya dilahirkan di sini, meskipun bukan orang asli Bogor, tapi saya sangat mencintai kota ini. Bapak saya asli Pati tapi sudah sejak sekitar tahun 1969 atau 1970 merantau dan kuliah di sini. Sedangkan ibu saya asli Juwana, setelah menamatkan kuliahnya di Yogya, beliau sempat merantau di Jakarta, tapi akhirnya menetap di Bogor karena bekerja di sini dan menikah dengan bapak saya. Saya sendiri walaupun sempat merantau 10 tahun di Banjarbaru, akhirnya pada saat kuliah kembali lagi ke sini sampai sekarang, jadilah saya merasa sebagai orang Bogor, meskipun sampai sekarang masih belum bisa berbahasa Sunda secara aktif. Bogor yang sekarang itu sangat berbeda dari waktu saya masih kecil, sudah banyak perubahan yang terjadi, terutama karena banyaknya warga pendatang sehingga membuat kota ini makin terasa padat dan panas padahal luasnya ya segitu-gitu aja. Yang paling saya suka dari Bogor ini adalah hujannya, dan mungkin karena saya lahir di Bogor, makanya saya suka sekali dengan hujan:-). Hujan deras diselingi petir yang suaranya dasyat menggelegar itu sih biasa, tapi mungkin bikin kaget orang yang baru pertama kali datang ke Bogor. Akhir-akhir ini hujannya sering disertai angin, pernah hujan es juga, tapi biasanya di daerah tol. Meskipun sering hujan tapi koq terasa panas ya, mungkin karena efek dari pemanasan global. Bogor sudah tidak sejuk lagi, apalagi kalau jarang hujan. Beda sekali dengan waktu tahun 80-an, udaranya terasa sejuk, meskipun cuaca cerah tapi panas mataharinya tidak menyengat seperti sekarang ini, sampai bikin keringat bercucuran. Dulu, terutama musim penghujan, udaranya terasa lumayan dingin, kota ini sering dihiasi mendung dan hujan rintik-rintik yang bikin suasana tambah adem dan romantis. [caption id="attachment_159360" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu sudut taman di Kebun Raya Bogor (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption] Untuk ukuran, mungkin kota Bogor termasuk kecil. Jalannya sempit, tidak seperti kota-kota di Jawa Timur, jalan utamanya paling hanya Jalan Padjajaran dan Jalan Baru. Pusat kotanya terletak di Kebun Raya Bogor (KRB), makanya kalau ke Bogor tidak usah takut nyasar. Tapi meskipun kecil, jangan ditanya jumlah angkotnya, mungkin sekarang sudah sampai 20-an nomor untuk yang di kotanya, belum lagi yang di kabupatennya, wajar kalau disebut kota angkot. Padahal kalau diperhatikan angkot di Bogor penuhnya hanya jam-jam tertentu saja (misal jam pergi atau pulang kerja), dan banyak rute yang sama terutama yang melewati KRB. Tata kotanya agak tidak karuan, apalagi kalau sudah memasuki daerah pasar atau stasiun, padat, kotor dan semrawut serta macet dimana-mana. Lebih menyebalkan lagi kalau saat hujan, deras sedikit saja jalanan langsung banjir, meskipun cepat juga surutnya, kalau sudah begini lalu lintas pasti langsung macet. Hal ini mungkin karena konstruksi jalan yang tidak rata dan selokan yang mampet. Sebenarnya sayang sekali, mungkin kalau penataannya dibuat lebih tertib dan rapi lagi pasti jadi lebih indah. [caption id="attachment_159324" align="aligncenter" width="300" caption="Gunung Salak dilihat dari Bogor Trade Mall (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption] [caption id="attachment_159329" align="aligncenter" width="225" caption="Curug Nangka (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption]

Bogor punya banyak pemandangan alam yang indah dan bisa dijadikan objek wisata seperti Gunung Salak, berbagai macam curug seperti Curug Sewu, Curug Nangka, Curug Cigamiang dan lain-lain. Tapi sayangnya pemanfaatan alamnya lebih cenderung ke arah eksploitasi tanpa memperhatikan aspek konservasinya, jadi wajarlah kalau terjadi ’banjir kiriman’ dari wilayah Bogor ke Jakarta. Sebenarnya itu sih bukan salah ’bogor’nya, yang jelas salah orangnya kenapa bikin villa di Puncak atau sekitarnya sampai-sampai hutannya jadi gundul dan daerah resapan airnya hilang. Nah kalo sudah begini siapa yang harus bertanggung jawab?

[caption id="attachment_159338" align="alignleft" width="300" caption="Sungai Ciliwung dan padatnya pemukiman di kawasan Sempur (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption]

Kawasan Bogor selalu saja jadi incaran tempat tinggal bagi warga pendatang yang bekerja di kawasan Jabodetabek, jadi tidak heran kalau jumlah penduduknya dari hari ke hari semakin padat dan banyak bermunculan perumahan-perumahan baru. Bagaimanapun juga, Bogor tetap nyaman untuk dijadikan kawasan pemukiman, setidaknya dibandingkan daerah Jakarta, Bekasi atau Tangerang, karena suasananya lebih aman, tenang dan adem, airnya bersih, polusinya lebih sedikit, penduduknya lebih ramah.

Kesan terakhir, yaitu tentang pusat perbelanjaan atau mallnya, dengan ukuran yang sekecil Bogor, bagiku jumlah mall di Bogor terlalu banyak, hampir di setiap sudut ada. Mulai dari Botani Square, Plaza Bogor Indah, Ekalokasari, Bogor Trade Mall, Pusat Grosir Bogor (PGB), Pusat Grosir Taman Topi, Plaza Jembatan Merah (PJM), Pangrango Plaza dan masih banyak lagi, belum lagi toko-toko kecil, lalu factory outlet, ruko dan tempat makan yang menjamur dimana-mana. Saya heran kenapa ya pemda setempat tidak membatasi pembangunan kawasan pertokoan/mall, bukankah lebih baik memperbanyak taman-taman kotanya supaya suasana makin hijau dan tidak tambah gersang, atau lebih memperhatikan museum-museum di Bogor yang kurang terawat dan sepi pengunjung. Di kawasan Jalan Padjajaran saja hampir seluruhnya berdiri pertokoan atau tempat makan yang selalu ramai dikunjungi. Wajar kalau pola hidup masyarakat Bogor berubah menjadi sangat konsumtif dan ini sungguh sangat memprihatinkan. [caption id="attachment_159342" align="aligncenter" width="300" caption="Halaman kampus IPB Baranangsiang yang dipenuhi kapuk randu (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption] [caption id="attachment_159366" align="aligncenter" width="300" caption="Botani Square, di samping Kampus IPB Baranangsiang (Dokumen pribadi Aryani)"][/caption]

Begitulah Bogor, kota yang kecil, semrawut, tapi bagiku tetap nyaman untuk ditinggali. Apakah teman-teman kompasioner pernah ke Bogor? Bagaimana kesannya tentang kota ini? Bagi teman-teman sesama warga Bogor, mari buat kota kita menjadi lebih bersih, hijau, indah, tertib dan nyaman serta bebas macet. Seperti mottonya : Bogor Kota Beriman (Bersih Indah dan Nyaman). Semoga bermanfaat... Salam Kompasiana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline