Tulisan sebelumnya di sini
Waktu menunjukkan pukul 8.30. Pelataran parkir tidak terlalu ramai pengunjung karena umumnya mereka sudah mendaki duluan di hari sebelumnya. Tampak beberapa mobil bak terbuka yang parkir di pelataran Camp David. Sepertinya mereka menunggu penumpang yang turun gunung. Sambil berjalan, kami bertanya pada salah seorang penjaga warung di situ, sembari memperhatikan peta trekking Gunung Papandayan. Jawaban penjual warung tidak terlalu memberikan pencerahan. Tetap saja masih belum ada gambaran. Tetapi kata penjaga loket, di Gunung Papandayan ini rutenya sudah jelas, cuma 3 jam jalan santai sudah sampai. Namanya baru pertama kali tetap saja bingung, jalannya harus kemana dulu ya, mengingat di peta letak objek-objek yang kami tuju sebagai primadonanya gunung ini seperti hutan mati dan padang edelweis letaknya berjauhan.
“Ah sudahlah, ikutin aja orang-orang yang jalan itu, pasti ntar ketemu” ujar Mbak Vey
[caption id="attachment_348515" align="alignnone" width="602" caption="Jalanan berbatu menuju kawah (Dok. Yani)"][/caption]
[caption id="attachment_348516" align="alignnone" width="602" caption="Landscape menuju kawah Papandayan (Dok.Yani)"]
[/caption]
Pagi itu langit biru cerah dengan sedikit awan putih. Sinar matahari bersinar terik, tetapi tidak terasa panas. Mungkin karena ternetralisir oleh hawa sejuk pegunungan. Gunung Papandayan memang gunung wisata yang ramah. Terbukti banyak pengunjung yang membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Bahkan terlihat banyak pendaki yang masih anak-anak berjalan tanpa dikawal orang dewasa. Kami berpapasan dengan pendaki lain yang baru turun. Adapula yang baru naik, tetapi karena kami banyak berhenti untuk berfoto-foto, mereka keburu hilang dari pandangan. Seorang penjual dengan dagangan makanan di tangannya berjalan cepat mendahului kami.
Gunung Papandayan memang bentuknya melebar. Ada beberapa bagian yang membentuk puncak. Saat baru mendaki, kita akan melalui jalanan gersang berbatu-batu. Rupanya ini jalan menuju kawah karena kepulan asap sudah mulai kelihatan jelas dengan bau belerangnya yang menusuk hidung. Kalau kita menengok ke arah kiri, terlihat puncak Gunung Cikuray yang lancip menyembul di balik sisi kiri Gunung Papandayan. Membayangkan matahari terbit di sini, pasti pemandangannya luar biasa. Waktu terbaik untuk mendaki memang di pagi hari. Selain cahaya matahari masih lembut, asap kawah juga tidak terlalu banyak. Gunung Papandayan termasuk gunung dengan iklim yang kering apalagi semenjak lebaran lalu tidak pernah turun hujan. Makanya jangan sampai lupa bawa masker dan persediaan air minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi dan kepulan debu/asap.
[caption id="attachment_348517" align="alignnone" width="602" caption="Dua turis asing sedang mengamati kawah Papandayan (Dok. Yani)"]
[/caption]
[caption id="attachment_348518" align="alignnone" width="602" caption="Berfoto bersama dua orang turis asing dan pendaki lain yang tidak dikenal :-) (Dok. Yani)"]
[/caption]
Hanya berjalan kaki sekitar 15 menit kita sudah bisa menjumpai kawah beserta aliran sungai berwarna kekuningan. Ini adalah spot pertama yang bisa dinikmati di sini. Kita akan berjalan menyusuri pinggiran kawah yang mengepulkan asap terus-menerus. Harus hati-hati memilih pijakan supaya tidak terpeleset karena terkadang bebatuan dan pasirnya licin. Di dekat tulisan “Kawah Papandayan” kami melihat dua turis asing yang sedang mengamati kawah. Dengan pedenya Mbak Ramdiyah minta untuk berfoto bersama. Kami sempat berfoto berkali-kali dengan kedua orang asing itu. Tak berapa lama, ada rombongan orang lain yang ikut-ikutan. Tetapi hanya dapat dua kali jepretan, kedua turis asing itu keburu pergi. Kayaknya bereka bosen diminta berfoto terus. Dasar orang Indonesia memang norak dan narsis. Ngeliat turis bule aja serasa melihat artis hehe…
Matahari makin meninggi dengan cahayanya yang semakin terik. Saat itu kami berjalan menanjak melewati pasir yang warnanya putih sekali, seputih pualam. Mata kami terasa silau karena pasir itu memantulkan cahaya matahari. Mungkin lebih baik kalau kita mengenakan kacamata hitam. Para pendaki naik dan turun silih berganti. Beberapa motor juga terlihat ngetrail di jalanan berbatu, menimbulkan kepulan debu tebal yang mengotori badan dan pakaian. Sungguh atraksi yang menarik mengingat bukanlah hal mudah untuk berkendara di jalanan menanjak seperti ini. Mungkin bagi yang kelelahan bisa ikut membonceng di belakangnya. Tapi buat saya pribadi sih, mendingan jalan kaki daripada harus naik ojek di jalanan off road seperti itu. Bikin sport jantung aja.