Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Anda Berpendidikan?

Diperbarui: 19 Februari 2016   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi standarisasi pendidikan (http://maclab.guhsd.net/the-mac-lab-way/)"][/caption]Anda tertarik dengan dunia pendidikan? Apakah anda sudah pernah melihat speech dari Sir Ken Robinson, seorang pemerhati pendidikan? Saya tertarik pada speech yang di berikan olehnya, yang dari judul-judul speechnya saja udah menarik minat, seperti "Do School Kills Creativity?", "How to Escape Education Death Valleys", dan "Change Education Pardigm". Kalo dilihat dari judul-judulnya, akan ada asumsi : ada yang salah dengan pendidikan kita. Tapi, benarkah?

Sir Ken Robinson, sang pembicara mengemukakan bahwa selain krisis iklim, ada krisis lainnya juga yang sama pentingnya dan harus segera di tangani, yaitu human-resource crisis, atau krisis sumber daya manusia. Dikatakannya bahwa, kebanyakan manusia sekarang tidak menggunakan bakatnya secara baik dan penuh, atau bahkan melupakan bakat alaminya, sehingga mengakibatkan orang-orang tidak menikmati apa yang mereka lakukan. Mereka menahan rasa 'tidak enak', daripada menikmatinya. Sedangkan hanya sedikit yang mencintai apa yang mereka lakukan, yang dimana kalau orang-orang tersebut disuruh berhenti, mereka tidak bisa. Karena apa yang mereka kerjakan tersebut merupakan bagian dari 'jiwa' mereka. Kenapa terjadi seperti ini?

Banyak diantaranya dikarenakan pola pendidikan. Pola pendidikan yang secara tidak langsung membuat banyak orang 'mematahkan' bakat alami mereka. Semakin bertambah usianya seseorang, nalar befikir logikanya akan semakin tajam, yang dimana proses membuat keputusannya pun akan mengerucut kepada apa yang lebih logis. Sangatlah logis dimasa sekarang untuk mencari pekerjaan yang menghasikan banyak uang, dan karena kebanyakan orang berfikiran seperti ini, maka terciptalah dogma sosial yang dianut banyak orang :

Sekolah -> Kuliah -> Kerja Kantoran -> Pensiun -> Tua Bahagia

Looks familiar? Inilah dogma pendidikan-pekerjaan yang dianut kebanyakan semua orang, yang Sir Ken Robinson sebut sebagai "Idea of Linearity". Ide ini bukan hanya terdapat di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Bagaimana bisa hampir semua orang befikirian sama seperti ini? Ternyata disebabkan jauh pada abad 18, dimana yang saat itu memasuki abad industrialisasi, yang beberapa imagenya tertanam ke dunia pendidikan hingga sekarang. Bel masuk dan pulang, pekerjaan yang di spesialkan, alur masuk output-input pabrik, dan 'age batch'.

Garis besarnya adalah standarisasi. Pendidikan sekarang semua serba standarisasi. Standarisasi kurikulum, standarisasi testing, standarisasi ujian. Perlu di catat, ujian memang penting, tapi tidak boleh menjadi yang paling utama. Ujian dan tes seharusnya diagnostik, membantu pembelajaran. Kita telah membuat sistem pendidikan seperti model pabrik dan restoran fast-food, yang juga membuat kultur pendidikan menjadi sistem 'kepatuhan' dengan algoritma yang 'harus di ikuti'. Akhirnya, terjadilah proses 'industrialisasi' pendidikan yang bersifat mekanis, yang sangat kontradiktif dengan manusia yang bukan mekanis, tapi organik.

Manusia tidak bisa di standarisasikan dan dibuat berjalan dengan sistem mekanis, dan tidak akan pernah bisa. Kita bahkan tidak akan pernah menemukan 2 orang yang 100% sama, lalu kenapa kita menstandarisasikan jutaan anak? Manusia adalah makhluk yang diciptakan kreatif. Inilah yang menjadi nilai pokok menjadi manusia. Bahkan Picasso pernah berkata "Every child is an artist. The problem is to remain artist when we grow up". Dan kita tidak dapat menampik, bahwa komunitas manusia bergantung pada keberagaman bakat, tidak secara singular. Jika ada kebakaran, pemadam kebakaran lah yang lebih bisa dan berkualifikasi untuk menolong, bukan seorang profesor kimia dengan 3 gelar.

Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa keberagaman bakat merupakan kunci untuk membangun suatu komunitas manusia, karena tertutupi beberapa alasan. Dan alasan yang paling berpengaruh adalah tentu saja : Uang. Coba kita pikirkan, hampir semua keputusan yang kita ambil, uang menjadi faktor krusial yang harus dipertimbangkan. Dikarenakan untuk mendapatkan pendidikan harus menggunakan banyak uang, tentu saja logis jika kita mengharapkan mendapatkan uang yang banyak jika sudah selesai menempuh pendidikan tersebut bukan? Ini yang disebut sebagai motivasi pendidikan, atau alasan mengapa harus mendapatkan pendidikan. Ada 2 motivasi yang mendorong manusia untuk menempuh pendidikan :

Ekonomik vs Intelektual

Ekonomik adalah motivasi untuk mendapatkan uang dengan meraih pendidikan yang setinggi-tingginya. Pada abad 18 hingga abad 20, sebuah gelar PASTI akan mendatangkan pekerjaan yang baik. Hal ini terus tertanam hingga hari ini. Tapi bagaimana keadaan sekarang? Begitu banyak sarjana yang menganggur atau hanya 'asal kerja'. Begitu banyak sarjana yang menempuh pendidikan A, tapi mendapatkan pekerjaan Z yang sangat tidak sesuai dengan ilmu yang didapatnya, dikarenakan bayarannya lebih besar. Inilah yang disebut dengan motivasi ekonomi, yang dianggap bisa menukar pendidikan yang dipelajarinya dengan uang.

Sedangkan motivasi intelektual adalah motivasi untuk terus mempelajari dan terus berupaya untuk menjadi ahli dalam bidang yang dipelajarinya. Motivasi ini biasanya kental dengan ilmu eksak dan science, seperti Kimia, Fisika, Matematika, Biologi dan lain-lain. Motivasi ini juga terjadi pada bidang non-eksak, bahkan dalam kesenian. Penari, pelukis, musisi, dan sejuta lebih pekerjaan lainnya yang lebih menuju pada kreatifas. Pertanyaannya, apakah orang yang masuk pendidikan dengan motivasi intelektual tidak memikirkan uang? Tentu saja mereka memikirkan, karena mereka pun mempunyai kebutuhan. Tapi uang bukanlah merupakan faktor dominan dalam tujuannya untuk mendapatkan pendidikan. Orang bermotivasi intelektual ini lebih memilih untuk terus belajar dan menjadi ahli dalam bidang yang dipilihnya, daripada mencari uang yang lebih banyak dengan meninggalkan pendidikannya. Menurut saya, orang-orang yang bermotivasi intelektual inilah yang menjiwai apa yang mereka lakukan, mencintai apa yang mereka lakukan, tidak peduli apa yang mereka lakukan. Sebut saja Paris Gobel, Gillian Lynne, Pewdiepie, Danil "Dendi" Ishutin dan jutaan orang lainnya yang begitu menikmati dan mencintai pekerjaannya. Mereka tidak akan pernah berhenti melakukan 'pekerjaan' mereka, karena apa yang mereka lakukan adalah bagian dari jiwa mereka.

Lalu, apa yang terjadi jika seorang yang bermotivasi intelektual masuk ke lingkungan bermotivasi ekonomik?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline