Drama pelarangan ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) di Payakumbuh membuka diskusi menarik tentang bagaimana agama dan politik berinteraksi dalam ruang publik. MUI setempat mengklaim melarang UAS karena “terindikasi berpolitik praktis,” namun setelah protes publik, mereka buru-buru melunak. Ironisnya, mereka malah membingkai isu dengan dikotomi “ulama lokal vs. ulama luar,” seolah-olah kebaikan dan kebenaran bisa dibatasi oleh wilayah administratif. Dalam konteks teori politik sosiologis, manuver ini menggambarkan bagaimana kekuasaan, identitas, dan kontrol simbolik sering kali beroperasi dalam ranah agama. Saya tertarik untuk membicarakan ini lebih dalam. Jika tulisan sebelumnya lebih pada opini umum. Untuk tulisan ini saya coba mengkomparasikan permasalahan ini dengan beberapa teori sosiologi politik. Tapi masih dalam ruang lingkup opini teoritis.
Pendikotomian Ulama: Eksklusivitas atau Strategi Politik?
Pembatasan "ulama lokal" dan "ulama luar" ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan politik identitas. Sosiolog Pierre Bourdieu berpendapat bahwa kekuasaan sering dipertahankan melalui 'capital'—baik itu ekonomi, simbolik, maupun sosial. Dalam konteks ini, “ulama lokal” adalah aset simbolik yang dipertahankan sebagai sumber otoritas, sementara “ulama luar” dianggap ancaman karena membawa pengaruh baru yang bisa merusak tatanan kekuasaan lokal.
Selain itu, Teori Conflict Sociology dari Lewis Coser menyebutkan bahwa konflik dalam masyarakat sering terjadi untuk mempertahankan kelompok dominan. MUI Payakumbuh mungkin merasa perlu melindungi otoritas lokalnya dari pengaruh “orang luar” seperti UAS, karena kehadiran sosok dengan pengaruh besar bisa menggeser dominasi mereka di mata umat. Ini sejalan dengan teori Max Weber tentang otoritas tradisional, di mana lembaga seperti MUI merasa perlu mempertahankan kendali agar tidak kehilangan legitimasi.
Agama dan Politik: Antara Tugas Moral dan Cawe-cawe Praktis
Dalam teori politik sosiologis, agama sering kali dianggap sebagai salah satu alat legitimasi kekuasaan, seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci dengan konsep hegemoni budaya. Lembaga keagamaan berperan dalam membentuk pandangan masyarakat agar selaras dengan kepentingan politik tertentu. Dengan turut melarang ceramah UAS, MUI secara tidak langsung berperan sebagai penentu arah politik lokal—meski mereka mengklaim netral. Hal ini justru memperkuat kecurigaan bahwa MUI sendiri terlibat dalam politik praktis, yang mereka tuduhkan pada UAS.
Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere juga menekankan bahwa lembaga agama harus menjaga diri sebagai ruang diskursus yang sehat, bukan menjadi alat kepentingan politik. Namun, keputusan MUI Payakumbuh justru mengaburkan batas antara dakwah dan kampanye. Alih-alih menjadi penyejuk di tengah kontestasi, MUI malah memperkeruh suasana dengan membatasi hak politik seorang warga negara seperti UAS.
Hak Politik UAS: Antara Privasi dan Publik
Secara konstitusi, setiap warga negara, termasuk ulama seperti UAS, berhak memilih dan mendukung kandidat politik. Pendekatan pragmatis seperti melarang ulama yang “terindikasi” berpolitik hanya karena khawatir memecah belah umat adalah bentuk overreach—atau melampaui kewenangan—. Di sini, kita bisa melihat betapa tipisnya garis antara menjaga netralitas dan mencampuri hak politik orang lain.
Tokoh-tokoh seperti John Rawls dalam teori Justice as Fairness juga mengingatkan bahwa dalam demokrasi, semua warga negara, termasuk figur publik dan ulama, punya hak yang sama untuk berpartisipasi. Melarang seseorang hanya berdasarkan asumsi politik praktis bukan saja inkonstitusional, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan demokratis.