Lihat ke Halaman Asli

Keniscayaan Budaya Terlambat

Diperbarui: 17 April 2018   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

(Inspired by Editorial ITS Online)

Diskusi mulai menarik ketika muncul suatu pertanyaan, "Menurutmu, kasus terlambat itu gara-gara orangnya atau sistemnya?" Beberapa orang langsung menjawab orangnya-lah, buktinya masih ada beberapa orang yang tidak terlambat. "Terus kenapa di luar negeri tidak ada budaya terlambat?" Beberapa orang mulai berpikir dua kali, sepertinya penanya sudah memiliki jawaban pertanyaan, hanya membuka ruang diskusi.

Terlambat itu, menyenangkan. Kenapa tidak jadi orang yang terlambat saja? Ah, kalau kamu tidak setuju pasti kamu adalah orang yang paling sering punya kepentingan. Orang yang sering dirugikan karena terlambat. Orang yang terlalu memegang prinsip, terlalu idealis padahal prinsipmu tak lagi ideal.

Coba lihat perspektif lain, bantu sebut manfaat terlambat. Dengan terlambat, kamu akan dianggap penting, orang menunggu kedatanganmu. Dengan terlambat, kamu nggak perlu habis waktu membosankan untuk menunggu orang lain. Terlambat saja, kamu bisa menyelesaikan urusanmu yang lain terlebih dahulu, daripada habis untuk menunggu orang?

Terlambat juga nggak ada ruginya. Kamu akan diberitahu apa saja yang sudah terjadi, tidak perlu khawatir. Atau pinjam saja catatan teman, pasti dia mau. Terlambat akan dimaklumi, daripada tidak datang katanya.

Hukuman

Ada banyak macam hukuman yang telah dicoba diterapkan untuk mengatasi budaya terlambat. Jika menengok ranah profesional, akan ada denda atau potong gaji, hasilnya bagus. Tapi coba lihat komunitas biasa atau organisasi non-profesional yang mencoba menerapkan sistem serupa. No return, high risk. Masih ada yang mau ikut organisasi itu?

Menengok ke ranah sekolahan, hukuman yang diberikan beragam, tergantung tingkat kekerapan. Awalnya hanya tidak boleh mengikuti kelas, berlanjut tidak bisa mengikuti ujian. Jika poin menumpuk tinggi ujung-ujungnya akan terancam drop-out, hasilnya cukup bagus. Namun untuk sekedar kumpul biasa untuk membahas tugas atau proyek, terlalu sulit menerapkan sistem serupa. Bayangkan ada aturan sepuluh kali terlambat, tidak akan dianggap mengerjakan tugas.

Sistem

Aturan ada banyak macam, dari aturan agama, aturan hukum, aturan sosial, hingga aturan pribadi. Tiap aturan punya struktur ancaman melanggar tersendiri, agama terdapat akhirat, hukum terdapat sanksi. Dalam kasus terlambat, aturan sosial di Indonesia, terlalu memanjakan orang-orang terlambat. Tidak ada struktur ancaman sosial dengan melakukan terlambat. Orang tidak akan merasa bersalah ketika terlambat.

Tengok saja ketika dosen terlambat (bahkan berjam-jam), tidak ada mahasiswa yang berani protes, membahas masalah keterlambatannya. Lihat saja ketika rapat non-profesional dilakukan, dengan santainya orang akan terlambat, tidak ada wajah sinis menyertainya, temannya terlambat banyak. Bahkan yang keluar adalah guyonan yang menyenangkan orang terlambat, "Wehhh broo, darimana aja? Orang sibuk banget sih ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline