Bayangkan, ruang kelas adalah suatu negara. Nilai yang baik adalah sumber daya yang diperebutkan. Anggaplah sumber daya itu terbatas, guru tidak mungkin memberi nilai A semua. Sekarang tugas murid-murid yang ada di kelas adalah mengeruk sumber daya sebanyak-banyaknya.
Dari yang paling dasar. Beberapa orang tidak peduli dengan dapat nilai berapa. Di antara mereka ada yang cerdas, anggap saja kalau di dunia nyata para engineers, biologist, economist yang hidup sederhana. Beberapa siswa bekerja keras, belajar untuk mendapatkan nilai yang paling baik, anggap saja pebisnis, konglomerat.
Ternyata tidak cukup. Mereka mendapatkan kelompok yang berisi orang pemalas. Nilai kelompoknya ambles. Suatu cerita ada dua kelompok yang berhak memiliki lima anggota, lainnya hanya empat. Pembagian kelompok diserahkan ke siswa. Terjadilah politik ulung. Mereka dengan kapabilitas mencari nilai tinggi, saling lirik. Terbentuklah dua kelompok yang beranggota paling banyak, berisi orang-orang cerdas. Mereka menjadi elit politik.
Lihat di pertengahan, beberapa orang yang memperjuangkan nilai. "B saja cukup," katanya. Mereka orang-orang lowborn, tidak berbakat mencari nilai. Oh, tapi beberapa dari mereka berpolitik. Sederhana saja, mereka mendekati orang-orang yang cerdas. Seolah memberikan utang budi agar saat ujian, tak sampai hati elit politik ini menolak untuk menconteki.
Tak masalah nilai kelompoknya ambles, nilau ujian akhir punya bobot besar!
Lihat juga mereka lainnya yang tidak berdaya mendapatkan nilai baik. Strateginya nekat, prinsipnya harus mengetahui soal sebelum ujian dimulai. Mereka bertaruh; jika beruntung akan menjadi salah satu penguasa medan. Jika tidak, tamatlah seluruh hidupnya. Lihatlah para pengusaha barang kotor.
Mereka yang selalu mendapatkan nilai terendah, beberapa tidak peduli. Pragmatis dengan nilai. Lihatlah para buruh, para karyawan yang tidak punya visi ke depan.
Tapi lihat juga, ada sebagian lagi dari mereka yang sering mendapat nilai rendah. Tapi tersenyum: ternyata seperti ini politik. Akan selalu ada, suka tidak suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H