Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Refleksi, Preferensi Memilih Ngontrak

Diperbarui: 26 September 2016   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum renovasi

“Tik..tok…” kukira suara itu dari kedua jam dinding yang dipasang di ruang yang sama. Suara mereka memang besar apabila melangkah bersama sejauh detik. Namun ternyata suara itu bukan ulah mereka, melainkan keramik lantai yang agaknya marah disentil air dari plafon. Bocor.

Beberapa bulan lalu, bak kontraktor ulung, kami membangun ulang sebuah rumah. Tim kami lengkap. Proyek dipimpin oleh Rochadi Mahalalita, Teknik Arsitektur ITS. Segala urusan desain, tata letak ruang, estetika penempatan barang diserahkan olehnya.

Selanjutnya, Rizal Hardiyanto, Teknik Elektro ITS yang menangani alur rangkaian listrik dari pusat hingga menjangkau seluruh sudut rumah. Armanda Siryogi yang memiliki disiplin ilmu Teknik Mesin tak kalah kreatif. Ia menciptakan sesuatu yang lebih penting dari mesin bubut, yaitu mesin pemanas pakaian (re: jemuran kawat).

Fudin Bili adalah anggota berikutnya, pakar Mekatronika dari PENS yang mampu menggabungkan keahlian Rizal dan Armanda. Ketika rangkaian listrik telah jadi, ia yang mengatur sistematika penempatan berbagai alat untuk menghindari turbulensi benda statis.

Sedangkan aku? Haha. Mendapatkan HPP termurah token listrik, menekan biaya overhead membangun rumah, hingga memperoleh TV dan printer gratis adalah urusanku. Aku mengambil studi di Manajemen Bisnis ITS.

Cukup keren bukan? Namun jika aku menceritakan yang sesungguhnya, kerja tim seperti ini hanya ada di khayalanku. Cetak biru pembangunan kontrakan dimiliki oleh Armanda yang sekaligus sebagai pelindung proyek, bukan lagi ketua. Sedangkan kami akan mematuhi segala titahnya demi kontrakan yang lebih baik.

Kami mengecat ulang dinding, membantu pembuatan rangkaian listrik, hingga desain lantai dan pemasangan meja buatan. Masalah TV dan printer gratis, adalah hibah seseorang yang baru lulus pascasarjana.

Semuanya tampak sempurna sampai waktu mengkhianati kami. Rumah sewa itu kedatangan tamu: musim hujan.

Diawali dengan plafon yang bocor, kami masih bisa bersabar. Yang terpenting kami bisa tidur, menyelesaikan tugas, dan melakukan ritual di kamar mandi. Namun semua kebutuhan itu tak lagi terpenuhi. Hal itu terjadi ketika telah menjalin hubungan sepuluh bulan dengan kontrakan. Banjir se-mata kaki.

Tragedi itu menghancurkan semuanya, dari kasur, buku pedoman, hingga tugas. Tenggelam. Jangan lagi tanya ritual di kamar mandi, tidur pun kami menumpang di Asrama Haji yang kebetulan bisa gratis. Muak, kami mengundurkan diri.

Meski demikian, satu tahun se-atap bersama mereka adalah keping hidup berarti. Satu tahun se-ranjang dengan mereka memiliki banyak cerita. Ah, maafkan, aku telah berjanji untuk tidak bercerita di luar forum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline