Topik ini merupakan kelanjutan dari topik "PEREDA NYERI, PISAU BERMATA DUA" yang saya posting beberapa waktu yang lalu. Jika pada topik sebelumnya lebih banyak berbicara mengenai efek samping akibat penggunaan analgesik, maka pada kesempatan kali ini saya mencoba memberikan tips bagaimana menggunakan obat-obat pereda nyeri (analgesik) yang rasional dan relatif aman. Dikatakan "relatif aman" sebab pada dasarnya tidak ada obat-obatan yang 100% aman tanpa resiko efek samping. Seringkali yang pertama terlintas dalam benak kita ketika sindrom nyeri "menghampiri" kita adalah "ANALGESIK, saya butuh analgesik untuk meredakan nyeri...! Jarang terlintas mengapa nyeri ini timbul? Apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh saya? Inilah yang kemudian banyak mendorong kita untuk menjadikan analgesik sebagai "langkah taktis" kita. Hal ini memang tidak salah, prinsip "ATASI KELUHAN SEDINI MUNGKIN" tidak salah namun sering kita terjebak oleh kondisi ini. Maksud saya, setelah nyerinya teratasi, apa yang kita lakukan selanjutnya? Yang terbanyak adalah selesai sampai disitu. Padahal bisa jadi nyeri itu adalah ALARM bagi kita bahwa ada sesuatu yang terjadi dalam tubuh kita, tubuh kita memperingatkan "Hei..ada sesuatu yang tidak beres pada saya..!" Ketika nyeri hilang pasca mengkonsumsi analgesik tidak berarti bahwa proses "ketidakberesan" tersebut juga berhenti. Kondisi ini yang harus diantisipasi dengan segera berkonsultasi dengan pihak yang berkompeten (maksudnya dokter). Apalagi jika nyeri tersebut terjadi berulang-ulang dengan intensitas yang sama bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Ada baiknya untuk tidak melakukan "SELF MEDICATION atau BEROBAT SENDIRI" untuk jangka waktu yang lama. Nyeri sendiri penyebabnya bermacam-macam, ada yang asalnya dari "organ penyokong" (somatik) misalnya kulit, otot, tulang dan "organ dalam" (viseral) misalnya lambung, usus, hati, kandung empedu, rahim dll. Sebenarnya istilah "organ penyokong dan organ dalam" kurang tepat, mohon maaf saya tidak tahu bagaimana membahasakannya. Dengan perbedaan asal nyeri tersebut maka akan berbeda pula analgesik yang tepat untuk nyeri tersebut. Terdapat beberapa golongan analgesik yang beredar, diantaranya yaitu: 1. Golongan Analgesik dan Antipiretik Salah satu yang termasuk dalam golongan ini adalah parasetamol (mis. panadol). Parasetamol merupakan analgesik yang relatif paling aman dibanding dengan analgesik yang lain. Obat ini "tidak" mempengaruhi saluran cerna, sistem pembekuan darah dan jantung. Kami sering mengkombinasi parasetamol dengan golongan NSAIDs utamanya kelompok COXIB. Rasanya hampir semua jenis obat sakit kepala, obat flu mengandung parasetamol. Hanya yang perlu anda perhatikan bahwa parasetamol tidak boleh dikonsumsi hingga melebihi 3000 mg perhari dan terutama berhati-hati pada penderita-penderita gangguan hati. 2. Golongan NSAIDs (Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs) atau AINS (Antiinflamasi NonSteroid) Golongan ini yang juga banyak beredar dipasaran dan sangat mudah didapatkan. Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan asam mefenamat (Ponstan), diklofenak (voltaren), ibuprofen, piroksikam dan masih banyak lagi. Obat ini bekerja dengan menghambat produksi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator nyeri yang utama. Dalam golongan ini, terdapat jenis analgesik yang lain yang memiliki efek samping yang berbeda dengan "saudaranya". Jika jenis analgesik yang contohnya saya sebutkan diatas memiliki efek samping terutama pada saluran cerna (lambung dan usus) dan pada sistem pembekuan darah, maka "saudaranya" yang satu ini berbeda karena (oleh para ahli) tidak berefek pada saluran cerna dan sistem pembekuan darah namun "katanya" dapat berefek pada jantung. Sang Saudara ini disebut sebagai kelompok "COXIB", yang beredar dipasaran Indonesia adalah celecoxib (celebrex), lumiracoxib (prexige), parecoxib (dynastat). Kelompok ini lebih banyak digunakan untuk mengatasi nyeri persendian dan nyeri pascabedah, namun tidak tertutup kemungkinan bisa juga digunakan untuk jenis nyeri yang lain. 3. Golongan Narkotik (Opioid) Untuk golongan ini, pasti anda sudah tidak asing lagi dengan MORFIN. Morfin adalah analgesik golongan narkotik yang sudah lama digunakan terutama dalam penanganan nyeri selama dan pasca pembedahan serta dalam penanganan nyeri kanker atau nyeri lain yang tidak teratasi dengan golongan NSAIDs. Morfin merupakan pilihan utama penanganan nyeri yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan analgesik biasa. Selain morfin masih ada lagi saudaranya yang lain seperti kodein, meperidin, fentanyl, sufentanyl. Selain itu ada juga kelompok narkotik sintetik seperti hidromorfon, tramadol. Khusus mengenai tramadol, obat ini relatif lebih aman dibandingkan dengan narkotik lainnya namun efek samping yang paling banyak mengganggu adalah mual dan muntah. Kombinasi tramadol dengan NSAIDs akan menghasilkan efek pereda nyeri yang lebih baik. 4. Golongan Antagonis Reseptor NMDA NMDA merupakan salah satu reseptor nyeri pada sistem saraf. Obat dalam golongan ini adalah Dekstrometorfan yang sering digunakan sebagai obat pereda batuk selain kodein. Ada pula yang namanya Ketamin, yang satu ini adalah obat yang sering dipakai dalam suatu tindakan pembiusan sehingga wajar jika ketamin hanya beredar di rumah sakit, khususnya kamar bedah. 5. Golongan Antidepresan Golongan ini, sesuai dengan namanya, merupakan golongan obat anti depresi yang biasa digunakan dibidang psikiatry. Golongan ini lebih banyak digunakan hanya pada kasus-kasus nyeri kronik, nyeri akibat kerusakan jaringan saraf (bukan berarti orang yang depresi sarafnya banyak yang rusak..!). Yang banyak digunakan dalam terapi nyeri adalah amitriptilin dan imipramin. 6. Golongan antikonvulsan (anti kejang) Golongan ini biasa dipakai untuk mencegah kejang. Dalam hal nyeri, sama seperti golongan antidepresan, golongan ini juga banyak digunakan sebagai bagian dari penanganan nyeri kronik. Contoh yang sering digunakan adalah karbamazepin dan gabapentin. 7. Anestetik lokal Istilah lain yang sering digunakan adalah obat bius lokal, yang sering digunakan pada prosedur pencabutan gigi, sunatan. Obat ini umumnya diberikan melalui suntikan namun kini juga sudah tersedia dalam bentuk gel yang bisa dioles pada permukaan tubuh. Bagaimana menggunakan analgesik sehingga kita dapat meminimalkan efek samping yang bisa terjadi? 1. Kenali jenis analgesik yang anda gunakan. Keterangan mengenai obat ini dapat anda lihat pada brosur atau keterangan yang biasanya terdapat pada kotak/ pembungkus obat tersebut. Meski sebagian besar analgesik yang beredar disekitar kita masih belum memberikan keterangan secara detail namun setidaknya masih ada informasi yang kita dapatkan. Anda dapat mencari keterangan lebih jauh dan lebih jelas dari majalah-majalah atau dengan mengakses di internet. 2. Jangan mengkonsumsi 2 atau lebih jenis analgesik jika mereka adalah satu golongan, misalnya jangan mengkombinasi ibuprofen dengan asam mefenamat atau diklofenak atau lainnya karena masih dalam satu golongan NSAIDs. 3. Perhatikan aturan pakainya. Khusus golongan NSAIDs, mengkonsumsi lebih dari 1 tablet dalam waktu bersamaan tidak akan memberi efek yang lebih baik bahkan akan menambah besar resiko efek samping. 4. Jika dengan satu jenis golongan analgesik tidak dapat mengurangi nyeri yang anda alami, sebaiknya anda berkonsultasi pada dokter untuk mendapatkan analgetik yang lebih tepat atau mungkin kombinasi analgetik yang lebih aman. Bagaimana dengan Morfin? Obat yang satu ini memang kontroversi, maksudnya, begitu mendengar kata "morfin" umumnya yang terbayang adalah "ketagihan, sakau, atau istilah-istilah yang lain" belum lagi terbayang resiko efek sampingnya berupa henti napas, henti jantung. Belum lagi oleh sebagian masyarakat "mengharamkan" morfin karena dianggap berefek mirip dengan alkohol. Namun sebenarnya hal inilah yang menyebabkan mengapa penanganan nyeri menjadi tidak optimal. Inilah "barrier" atau penghalang dalam penanganan nyeri secara optimal. Morfin tidak akan menyebabkan ketagihan (tidak seperti heroin), tidak akan menyebabkan henti napas maupun henti jantung bila digunakan secara rasional dan terukur serta pada penderita yang mengalami nyeri hebat. Morfin memang bukan pilihan pada kasus-kasus nyeri ringan. Morfin menjadi pilihan pada kasus-kasus nyeri pascabedah dan kasus-kasus nyeri akibat kanker. Disisi lain, memang ada aturan ketat dalam hal penggunaan golongan obat yang satu ini, sehingga hanya dapat diberikan atau diresepkan oleh seorang dokter. Khusus mengenai penggunaan morfin dalam kasus-kasus nyeri, insya allah akan diangkat pada tulisan yang akan datang. Semoga tulisan ini ada manfaatnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H