Lihat ke Halaman Asli

Curhat Dara Kesepian

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326378369539803245

[caption id="attachment_155231" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: www.kasakusuk.com"][/caption] Namaku Dara. Usia delapan belas pas. Aku benci Tuhan. Kenapa Ia ciptakan selaput dara, payudara, haid, melahirkan dan tetek bengek kewanitaan yang bikin ribet dan sumber kegelisahan pada kaumku, kaum perempuan. Bahkandi Injil katanya—maaf, karena aku juga sudah lama malas pergi ke gereja karena gaya khotbah pendetanya monoton, ga asyik--sumber malapetaka merosotnya manusia ke muka bumi dengan kondisi berdosa adalah karena dosa Hawa—yang notabene perempuan—yang kelewat nafsu dengan buah kekekalan. Apakah ini memang pertanda bahwa kodrat perempuan adalah matre dan takut tua?

Aku senang berpikir dan merenung. Teramat senang malah. Sehingga teman-temanku bilang aku old-fashioned, ga gaul atawa ketinggalan zaman. Tapi biarlah, toh aku juga kadang-kadang senang juga pake tank-top ketat yang menonjolkan buah dadaku yang sintal dan padat, 36B. Cukup cool untuk teman-teman seusiaku, dan lumayan bikin cowok-cowok mau tak mau ngelirik kalau aku sedang hang-out di mall, sekedar pengusir suntuk. Tapi ukuran dada yang begini sebenarnya merepotkan, kalau aku ingin baca buku sambil telungkup di kasur seperti posisi favoritku. Sesak dan berat. Memang biasanya aku lebih menikmati berkubur di kamar dengan buku-buku serius filsafat. Aku suka baca tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, Saman, Larung, Akar atau Jendela-nya Fira Basuki.

Lalu kenapa pula penulis harus menganggap semua remaja sama, yang hanya mau mengunyah bacaan-bacaan ringan ala Teenlit dan Chicklit? Memangnya remaja semuanya berotak udang dan tidak menyukai kedalaman? Barangkali aku tergolong minoritas dalam hobi bacaan, termasuk pula dalam pemikiran. Aku tak berminat pacaran, karena selain cuma jadi pelampiasan gairah cinta laki-laki puber, aku juga anti pernikahan.

Kenapa? Pasti kamu bertanya begitu khan? Persis mamaku yang nyinyir. Apa karena aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang cowok semua, dan aku perempuan? Ya, aku benci pernikahan karena aku benci kemunafikan. Hmm..mungkin ini ada sedikit pengalaman pribadi dari beberapa teman dekatku, teman se-gank. Kamu tau ga? Teman-teman satu gank-ku adalah miniatur Indonesia. Aku, Dara yang Katholik tulen dan cuek abis, Vita yang mellow banget, Karlina yang jilbaban dan Asa kribo kocak. Sebenarnya agak unik juga di tengah gank cewek ada cowok yang ikut-ikutan. Teman-temanku bilang, Asa itu kambing di tengah kembang.

Maklum, Asa ini, nama aslinya sih Ahmad Saharjo ikut-ikutan tren berjenggot seperti teman akrabnya yang ikhwan itu, cowok misterius anak tukang jahit. Sederhana tapi berkarakter. Siapa ya namanya? Doi selalu nunduk sih ketemu aku. Senyum sih, tapi dikit.Padahal apa nggak okenya sih bodiku? Dasar ikhwan! Tapi justru itu yang bikin penasaran.

Biasanya cowok-cowok kayak ayam kebelet kawin kalo mendekatiku. Tapi yang ini, he’s different. Eh, kok, aku ngelamunin dia sih? Ngobrol aja cuma basa-basi. Aku pura-pura nanya soal bahasa Inggris padahal lain kelas. Yah, namanya juga usaha. Dia tuh jago bahasa Inggris. Belajarnya otodidak lagi. Ah, siapa ya namanya? Kok lemot banget sih memori otakku kali ini? Apa harus diganti ya? He..he..

“Dara. Dara! Kamu tidur ya?” Suara lembut itu terdengar lagi. Sejak tadi sih aku dengar. Cuma aku cuekin. Mama kayak ga tau aja jadwalku sepulang sekolah: menulis diary. Sahabat setiaku selepas kepergian papa. Papa memang tidak pergi secara fisik, tapi berbeda prinsip. Mereka kawin beda agama. Mama Katholik dan Papa Islam. Ketemunya di Inggris, waktu sama-sama belajar di Leeds University, Inggris. Unik juga kalo dianalisis. Keluarga Mama sebetulnya nenek-moyang Islam tetapi karena kemiskinan dan pengaruh kristenisasi yang gencar di Klaten, iman pun berubah. Mama diangkat anak oleh seorang romo (pastur Katholik) sejak bayi dan disekolahkan sampai S-2 di Inggris. Tapi kuliahnya tidak selesai karena menikah dengan papa dan aku keburu brojol pada bulan ketiga perkawinan mereka. Bayi ajaib ya aku, lahir tiga bulan setelah ortu menikah!

Demi cintanya pada papa, Mama mengalah dan memilih mengurus aku sementara Papa meneruskan studinya sampai tamat. Tiga belas tahun kemudian ketika pulang ke Indonesia, entah mengapa, mereka bercerai. Konon, ini kata mama, papa sejak dulu merasa dijebak karena tidak pernah merasa menjadi ayahku.

Duh, sedihnya. Papa bilang mama selain berhubungan dengan papa, juga berhubungan dengan pria lain. Padahal sungguh mama dibesarkan sejak kecil dalam lingkungan kepasturan katholik yang ketat dan belum pernah pacaran sampai kuliah S-2 dan bertemu papa. Alhasil, selama pernikahan, mereka kerap bertengkar. Akulah saksi hidupnya. Itulah makanya aku benci Tuhan. Mengapa Dia ciptakan keyakinan yang berbeda di antara ummat-Nya? Mengapa harus ada banyak pintu untuk menyembah-Nya? Mengapa tidak ada satu pintu saja untuk memasuki rumah-Nya?

Awalnya, masih cerita mama, perkawinan mereka pun ditentang dua belah pihak. Pihak mama yang Jawa katholik tulen (pastur lagi!) menuduh papa menjerumuskan mama. Begitu pula keluarga papa yang Betawi asli. Mereka bilang, mana ada Betawi kawin dengan Kristen. Itu sama saja meminta gula yang rasanya asin! Tapi mereka keukeuh atas nama cinta. Perbedaan agama tidak menjadi masalah. Mama tetap rajin ke gereja dan papa yang tadinya sholatnya bolong-bolong setelah menikah malah jadi rajin.

Kata mama, karena papa merasa menyesal berzina dan ingin menebus dosanya. Mungkin itu pula yang justru mempercepat bubarnya rumah tangga mereka. Cinta manusia memang tak ada yang kekal. Prahara pun melanda seiring lunturnya rasa kasih dan perasaan sayang. Hingga akhirnya lima tahun papa pergi, menikah lagi dengan seorang wanita muslimah pilihan ortunya. Mama pun harus jadi single parent. Berjuang sendirian membangun usaha konveksi. Aku tumbuh jadi gadis yang aneh dan paranoid. Tapi tetap nge-gank demi pergaulan. Meski kadang aku merasa mereka menerimaku karena iba, aku tak punya teman. Tapi whatever! At least I have friends! They’re blood in my flesh!

“Dara, kamu lagi ngapain sih? Bantuin mama dong, sayang. Masukin jarum ke lubangnya.” Terdengar suara mama lagi. Ah ya, kayaknya sudah cukup menulis diary hari ini. Aku bergegas keluar kamar. Masih dengan baju seragam sejak dua jam lalu pulang sekolah.

“Ada apa sih, Ma?”

Mama menatapku tajam, agak kesal rupanya. Tapi beliau ibu yang pemaaf dan pengasih. “Ini lho, tolong masukkan jarum ini ke lubangnya. Mama lupa di mana taruh kacamata mama,” ujar mama seraya mengangsurkan kain di tangannya. Aku menyambutnya. Mudah saja bagiku yang matanya, ini kata mama lho, jeli. Mata yang indah, puji teman-teman.

Dengan sedikit bantuan ludah agar benang menurut, kumasukkan benang yang sudah lulut tersebut ke dalam lubang jarum. Memang agak repot untuk wanita usia lima puluhan lebih seperti mama dengan kacamata plusnya yang tebal untuk sekedar melakukan pekerjaan sepele tersebut. Ah, mama, kapan aku bisa membalas budimu?

“Kamu sudah makan, Sayang?” ujar mama setelah berterima kasih dengan tulus, dan melihatku tertegun di depannya.

“O, iya, belum, Ma,” aku tersadar. “Masak apa hari ini?”

“Ada ayam cah kangkung dan goreng tempe. Tadi Bik Mun juga bikin pecel kesukaanmu.”

Asyik! Tapi…?

“Bik Mun kemana, Ma? Dari tadi Dara kok ga liat?”

“Sekarang kan hari Kamis, Dara. Siang-siang begini dia kan ikut majelis taklim di musholla ujung jalan. Biasanya juga speaker-nya terdengar sampai sini. Tapi kok hari ini ga ya? Rusak kali ya?

Aku menyendok ayam cah kangkung sambil merenung. Bik Nah, perempuan gemuk seperti Ratmi B-29 yang sholehah, sudah ikut mengasuhku sejak masih ada papa. Biar pembantu, dia rajin sholat, mengaji dan tadarusan. Mama tidak melarang. Awalnya karena papalah yang membawa Bik Nah bekerja di rumah ini. Konon, Bik Nah itu sepupu dari sahabat papa. Kata mama pula, papa sebetulnya menginginkan aku masuk Islam seperti agama yang dipeluknya. Makanya ia menyiapkan pengasuh yang pintar membaca Qur’an seperti Bik Nah.

Tetapi mama bersikeras sebab kata mama ia pun sudah berkorban menikah dengan papa, meninggalkan keluarga asal mengucilkannya. Sampai kini pun aku tak pernah ketemu dengan eyang kakung. Maka mama ingin anak pertama ikut agamanya, Katholik. Meski mama juga tidak taat-taat amat. Papa mengalah, dan bersabar menunggu anak kedua. Sayang takdir bicara lain, mama terserang penyakit leher rahim. Untungnya bisa selamat. Namun diagnosis dokter mengatakan mama tak mungkin hamil lagi karena rahimnya sudah tidak mendukung.

Sejak itulah mulai muncul pertengkaran antara papa dan mama. Papa merasa tertipu. Puncaknya, mereka bercerai. Dan ketika mama dan papa bercerai dan papa meninggalkan rumah, sebetulnya Bik Nah yang merasa tidak enak hati ingin keluar. Tapi ditahan mama karena Bik Nah-lah, yang usianya tak jauh dengan mama, tempat mama berkeluh-kesah dan curhat. Terutama ketika masa-masa perselisihan dengan papa menjelang perceraian mereka.

Suara lantunan ayat-ayat Qur’an mengalun dari loudspeaker musholla. Aku menengok jam. Mestinya sudah setengah jam yang lalu terdengar, mungkin ada komponennya yang rusak. Maklumlah mushola tersebut sudah tua, beberapa bagiannya sudah mengeropos dimakan rayap. Aku juga akrab dengan marbot masjid itu, Bang Dawud yang ramah dan lugu.

Orang-orang bilang ia agak idiot karena wajahnya agak mongoloid, karena sewaktu kecil pernah sakit panas, sehingga perkembangan otaknya terganggu. Bicaranya merepet, tidak jelas, namun selalu tersenyum ramah, ketika aku datang beli bakso yang biasa mangkal di depan musholla. Ia biasanya duduk di tangga musholla sambil tersenyum-senyum. Tersenyum barangkali, karena posisi bibirnya yang agak miring. Namun, membuatnya terlihat ramah. Sekaligus menggelikan.

“Bakso, nih?” demikian selalu sapaannya. Selalu sama dengan intonasi yang sama. Aku pun biasa menjawabnya dengan jawaban yang sama, “Iya, Bang.” Hanya sesekali aku meluaskan percakapan, terutama bila Mas Kumis lama banget melayani pesananku. Maklum antrian panjang. Jawaban Bang Dawud juga gak jelas-jelas amat di telingaku. Tapi setidaknya adalah basa-basi sebagai sesama warga kampung.

Ya, aku kadang merasa iri dengan teman-teman sebayaku di kampungku ini. Mereka tertawa ceria berangkat ke masjid, terutama saat tarawih, dengan busana muslimah dan membawa sajadah. Malam-malam, bergerombol sesama cewek sambil bercengkerama dan beraktivitas bersama, sungguh menyenangkan bukan? Aku kadang merasa sendiri, meskipun mereka juga tidak mengganggu, dan tetap menerima baik aku. Tapi ya, tetap saja beda. Meski tak bergelut, minyak tetap saja minyak dan air adalah air!

Tuhan, meski aku benci kamu, kurindu kebenaran-Mu…

“Dara! Kamu kenapa sih? Bengong aja dari tadi?” teguran mama mengejutkanku. Aku lekas-lekas bersikap biasa. Teramat panjang alasan ke mama bila harus terus-terang. Biar mama bukan orang yang rajin ke gereja, tentulah beliau akan menentang setidaknya dengan keras jika aku mengikuti agama papa, Islam. Sebab bagi mama mengikuti papa berarti bercerai dengannya. Siapa pula aku yang berani mengambil langkah drastis begitu? Aku orang peragu, setidaknya demikian hasil psikotes di sekolah.

Ya , Tuhan, mengapa Kau ciptakan keyakinan yang berbeda di antara ummat-Mu? Mengapa harus ada banyak pintu untuk menyembah-Mu? Mengapa tidak ada satu pintu saja untuk memasuki rumah-Mu? Setidaknya biar aku bisa tarawih bareng bersama teman-temanku. Tahukah kau, Tuhan, aku kesepian….

Jakarta, 12 Januari 2012

-saat sukma merindu tubuh-

P.S: Untuk sahabat cantik di luar sana, ini kisahmu, tetap teguh ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline