Lihat ke Halaman Asli

Arya Kuswara

Saya seorang mahasiswa tunanetra, klasifikasi buta total, saya berkuliah di Kampus Universitas Ikip PGRI Argopuro Jember, jurusan pendidikan luar biasa. Saat ini, saya aktif di Organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat, Aktif di kepengurusan, di pengurus daerah (PD) sebagai Wakil Sekertaris Daerah, dan di pengurus cabang (PC) sebagai Sekertaris Cabang Lombok Barat. Saya juga aktif di Organisasi Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia Wilayahh Nusa Tenggara Barat, di kepengurusan sebagai Ketua Bidang 3 Pengembangan Organisasi dan Media Center.

Mengapa Tak Coba Menjadi Diri Sendiri Saja, Be Yourself

Diperbarui: 28 April 2023   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Be yourself. Menjadi diri sendiri.tak perlu diherankan lagi, pertanyaan serasa tak guna bila masih tak tahu arti kata dari be yourself. Kata ini sangat menjamur dimasyarakat, dibincangkan, dikutip di sosial media, bahkan tak luput pula digunakan dalam pelatihan-pelatihan atau seminar yang berkaitan dengan mental, baik motivasi atau psikologi. Namun pernahkah kita bertanya ke dalam, selangkah lebih dalam dari pertanyaan orang-orang pada umumnya. Bertanya ke dalam, maksudnya belajar melihat diri sendiri. Apakah diri kita ini, sudah menjadi diri sendiri (be yourself)?

Artikel ini, tidak bertujuan untuk menasehati pembaca, apalagi ada unsur tersirat untuk menggurui pembaca, dan satu lagi, tidak untuk membahas teori tertentu, hanya saja, penulis berniat, punya maksud, menggugah pertanyaan dalam diri pembaca, mengajak pembaca menyadari bagaimana menjadi diri sendiri. 

Menurut motto hidup Einstein, "Belajar dari kemarin, hiduplah untuk hari ini, berharap untuk besok. Yang penting jangan berhenti bertanya." Dan "Jangan dengarkan orang yang memiliki jawaban; dengarkan orang yang memiliki pertanyaan." Kedua kata-kata diatas, sudah jelas, menggambarkan kita betapa berliannya nilai pertanyaan. Dan ketika kamu terbuai, terjebak dalam kungkungan suatu kondisi, lihatlah orang-orang sebayamu, kemudian tunggu, pertanyaan akan menggugahmu, membawamu keluar dari kurungan itu; jangan ragu, ikuti sayup binar-binar cercah petunjuknya, hingga gelap yang merubungmu, terkikis penuh oleh benderang petunjuk yang dimuatnya.

Banyak gagasan-gagasan yang terbuang, teronggok begitu saja, tercecer, layu dan tak berguna, hanyut ditelan lupa dan ketakutan. Inofasi seakan buntu, terasa macet, atas sibuknya pikiran dengan hal-hal yang tidak penting, hal-hal yang bukan terkait dengan mata pelajaran, teori-teori, atau yang bukan ruang lingkup dari asupan pikiran, dimana jika makanan pokok pikiran itu dikonsumsi, maka gagasan-gagasan akan muncul berlimpah ruah. 

Konon, katanya seperti itu. Menurut pandangan penulis pribadi tidak, memang asupan otak harus terpenuhi, harus setiap hari diisi, bahkan dalam ilmu kejiwaan, makanan pikiran ada kadar dalam mekanisme pemenuhannya, ada informasi-informasi  yang bernilai subHat, bahkan Haram, yang apabila dimasukkan dalam pikiran, akan mengganggu metabolisme berpikir dan berkeyakinan, keyakinan dalam arti mempercayai hal-hal dalam aktivitas kehidupan seperti kesuksesan, apakah dengan kita memilih pekerjaan ini hasilnya lebih memuaskan, apakah dengan melakukan aktivitas ini; kita bekerja semakin lancar, dan lain sebagainya. 65% informasi yang kita dengar dan baca mempengaruhi cara pandang atau wawasan dan terkait juga dengan ramai sepinya gagasan. Lalu 35% apa?

Meski persentasenya berbanding satu kali lipat dengan pentingnya asupan informasi yang baik dan benar, tapi 35% ini sangat penting. bukan tentang hal mana yang lebih didahulukan, akan tetapi kedua hal ini saling melengkapi, tidak ada salah satunya, maka ini membuat gagasan kelihatannya zonk. 

Keberanian, J. K. Rowling berpendapat melalui lidah Kepala Sihir Hogwarts, Albus Dumbledore, berkata, "Perlu keberanian yang besar untuk menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang sama besarnya juga dalam menghadapi kawan." demikian, kita bisa lihat Kepala Sihir Hogwarts, betapa tingginya dalam mengapresiasi keberanian, disini juga beliau menggariskan cara pandang kita terhadap keberanian, yaitu keberanian yang diperlukan untuk menghadapi lawan dan keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi kawan. 

Cobalah kita acuhkan sedikit lingkungan sekitar kita, kita layangkan pandang kekehidupan sekeliling kita, anak-anak muda yang berganti jenjang sekolah, ketika menentukan jurusannya, hal apa yang selalu tak luput ditanyakannya, mereka akan menoleh ketemanya dan berkata, "Kamu mau ngambil jurusan apa?" begitu juga dengan hal-hal yang serupa, ketika anak usia muda kebawah dihadapkan dengan kondisi dimana mereka harus menentukan pilihan, pasti yang tak lupa dilakukannya, melirik temannya kemudian bertanya "Kamu gimana?" kebanyakan dari kita, bahkan mungkin semua, tumbuh dalam kebiasaan meragukan keyakinan, dalam arti lebih spesifik tidak berani tampil beda, dalam kasus ini, nampaknya kemajemukan yang ada, bahkan pengajaran akan keberagaman tak berhasil mendidik mental kita untuk berani berbeda, sekali lagi, berani. Dan bisa kita cicip kesimpulan sementara, berdasarkan pemaparan artikel bagian awal ini, bahwa belajar menjadi diri sendiri itu penting.

  • Berani tampil beda

Belajarlah untuk meyakini pilihan sendiri sejak awal, pupuk kebiasaan itu semenjak dini, jangan hanya bersitan cinta yang kita ikuti dan perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Seperti kata pasaran yang sering kita dengar, ketika cinta datang dihatimu, ikutilah ia. Coba kita ganti kata cinta itu dengan ide dan tambah sedikit kata-kata diujungnya. ketika ide datang dipikiranmu, ikutilah ia dan jangan khawatir kau berbeda. 

Menurut penulis, agar kita berani berbeda dengan orang-orang disekeliling kita, kita perlu mengenal diri, karena sepanjang penilaian kita terhadap ide atau gagasan, selalu kita landaskan pada orang lain. Logika sederhananya, bagaimana mungkin kita percaya ide sendiri, sementara orang-orang sekeliling kita, lebih pintar, lebih kaya, dan lebih tinggi kedudukannya. Contoh nyata orang yang percaya dan berani mengikuti idenya, Isaac Newton, beliau menemukan teori gravitasi bumi dari fenomena buah apel yang jatuh dari pohonnya.

            Dikutip dari artikel yang ditulis Sharon Martindan riliv.co, cara efektif mengenal diri sendiri bisa dilakukan dengan refleksi diri. Dari sekian banyak teori yang ada tentang refleksi diri, kita bisa gunakan salah satunya, dimana pada pemaparan kali ini menggunakan teori metode journaling, cara ini mudah dan bisa kita lakukan secara mandiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline