Lihat ke Halaman Asli

Siluet Kenyataan

Diperbarui: 27 Juli 2017   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ingatanku tentang beliau tidaklah banyak, hanya baju hijaunya yang kuingat serta tongkat tofa yang selalu beliau bawa. Wajahnya pun tak dapat ku ingat, yang ada hanyalah tubuh beliau yang terpampang sinar matahari sehingga menjadi siluet. Semakin kucoba untuk mengingatnya, semakin buram pandanganku akan kenangan itu. Mungkin kenangan tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, namun aku percaya esok hari akan kutemukan jawaban tersebut meskipun harus menempuh waktu yang sangat panjang.

Pagi ini tidak kudengar sama sekali bunyi gemericik air di sekitar rumahku bahkan aroma asap dengan aroma yang harum tidak kucium karena biasanya aku merasakan dua hal itu. Semenjak Ayah meninggalkan kami berdua, Ibuku membuka jasa cuci dan setrika baju di kampung kami. Meskipun pendapatan yang ibu dapatkan tidak banyak namun, ibu masih bisa membiayai anak semata wayangnya ini. Ku coba tuk memeriksa halaman belakang kami tempat biasa ibu bekerja namun, tak terlihat keberadaan ibu sedikitpun.

"Mungkin ibu sedang ke pasar." Gumamku dalam hati.

Ternyata dugaanku benar, ibu baru pulang dari pasar sambil membawa banyak sayur dan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Aku pun membantu beliau untuk membawa barang-barang tersebut dan terheran-heran karena jumlah barang belanjaan ibu yang banyak.

"Ibu bagaimana bisa membeli sebanyak ini? Ibu dapat uang dari mana?" tanyaku pada ibu.

"Alhamdulillah nak, kemarin ibu dapat uang arisan jadi ibu beli banyak dan juga kan hari ini kamu ulang tahun." Jawab ibuku sambil tersenyum sambil memberikan sebuah kado.

"Makasih ya bu tapi, gimana dengan kerjaan ibu?" tanyaku kembali.

"Ini kan hari Minggu, sesekali ibu libur ngga apa-apa kan?" balas ibuku dengan kembali tersenyum.

"iya bu." Jawabku pada ibu sambil tersenyum.

Kemudian kami pun bergegas merapikan barang-barang yang dibeli oleh ibu. Ibu juga membelikan bakso untuk makan siang kami. Setelah semuanya telah rapi, kami berdua pun makan bersama di  ruang tengah. Sambil makan ibu menceritakan kembali mengenai sesosok Ayah yang selalu membuatku selalu penasaran saat ini. Ibu selalu bercerita bahwa saat aku balita, Ayah bekerja sebagai Hansip. 

Meskipun saat itu pendapatan Ayah sangat kecil namun keluarga kami tidak selalu merasa kekurangan. Bahkan ibu pun mengatakan bahwa Ayah sangat rajin beribadah ke masjid dan selalu mengikuti kegiatan Ta'lim di masjid. Kemudian raut wajah ibu berubah menjadi sedih dan seakan tak kuasa melanjutkan cerita itu. Dengan perlahan ibu menceritakan bahwa Ayah menjadi berubah 180 derajat semenjak Ayah sangat bersemangat untuk berbisnis dengan temannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline