Lihat ke Halaman Asli

Pedagang Tua Hayam Wuruk

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Wanita tua itu belum jua beringsut dari tempat duduknya. Dibalut jaket yang sudah lusuh, ia masih tetap menjajakan dagangannya.

Rambutnya sudah memutih, giginya sudah ompong. Tiap ada yang melewatinya, suaranya yang sudah terdengar sayu itu berucap: kerupuknya Nak.

Wanita tua itu bernama Sulastri, 77 tahun. Orang-orang sekitar lebih suka memanggilnya dengan sebutan Bu Cim.

Ia tak seperti wanita tua lainnya--yang hanya mengharapkan belas kasih orang-orang yang lalu lalang.
Disamping Bu Cim berjajar dagangan kerupuk. "Kadang, bila lagi laris ada yang memborongnya," ujar nenek tua itu.

Di usia senjanya, Bu Cim hidup sebatang kara. Tiga puluh tujuh tahun silam, suaminya memilih meninggalkannya. "Saya tak punya anak. Dua tahun setelah kami menikah pada tahun 1970, suami saya pergi dan tak pernah kembali lagi," katanya mengenang.

Setiap hari hingga malam menjelang, Bu Cim menjual dagangannya di Jalan Hayam Wuruk. Jangankan untuk mengontrak rumah, untuk biaya hidup sehari-hari saja Bu Cim harus menantang terik matahari dan dinginnya malam. "Saya tak punya rumah. Untuk ngontrak saya tak punya duit. Saya hanya tidur disini beralas koran," ujar Bu Cim yang setiap hari menghabiskan waktunya di depan restoran Padang, Sinar Minang, Jalan Hayam Wuruk 120, Jakarta.

Malam itu, wanita tua itu lahap sekali menyantap nasi bungkusnya. Saya kaget: rupanya ia tak segera menghabiskan makan malam itu. Ia menyisakannya untuk bekalnya esok hari. Setelah tampak kenyang, ia menenggak air dari botol minuman. Nasi yang tersisa kembali ia bungkus dan menyimpannya di sudut dagangannya.

Bila ada yang lewat, kadang ada yang memberinya uang. Ia senang sekali. Dan senyum mengambang di pipinya.

Malam itu, kami terlibat perbincangan cukup lama. Walau usianya sudah tua, suara Bu Cim masih sangat jelas terdengar. Ia juga tidak pikun. Hanya matanya yang sedikit kabur walau tak begitu parah. Ia sangat senang sekali ketika saya bertanya banyak hal. Sesekali ia tertawa.

Dari perbincangan itu saya tahu, Bu Cim berasal dari Cirebon dan keturunan Tionghoa. Bu Cim tak pernah mengeluh tentang pahitnya kehidupan. Bu Cim mengajarkan saya untuk terus bersemangat dan menolong sesama. Sesekali ia memegang tangan saya dan mengulangi ucapannya.

Kepada saya Bu Cim bercerita bahwa ia pernah dicopet dalam jumlah yang besar. Saya tak kuasa mendengarnya. Tak sedikitpun kekesalan tampak di wajahnya saat mengulangi cerita itu. "Rezeki sudah diatur sama Tuhan," kata Bu Cim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline