Sore itu langit Jakarta cerah, waktu maghrib telah lewat. Hari Sabtu 18 Oktober 1997, sebanyak 110 ribu manusia tumpah ruah mengisi stadion GBK.
Ini kali kedua stadion Gelora Bung karno dipenuhi manusia sebanyak itu setelah perhelatan pertandingan Persib Bandung dan PSMS Medan 1985 yang diisi hampir 150 ribu manusia penggila bola.
Rezim Soeharto menghelat sukan terakhir Sea games ke-19 di Jakarta. Malam itu Indonesia memupuk asa, menjadi 'The king of football' di Asia tenggara. Indonesia saat itu diambang juara umum Sea Games dan emas sepakbola akan menjadi pencapaian yang hebat dimata rakyat negeri ini dan harus menumbangkan rival sejati pasukan Gajah putih Thailand.
PSSI mengumumkan pertandingan tersebut tidak dikenakan biaya, rakyat bebas datang tanpa harus membeli karcis. Tak heran saya yang datang satu jam sebelum laga sudah tak mampu menembus gerbang masuk yang dijaga oleh pasukan tentara dan polisi.
Dua orang turis inggris yang sengaja datang bertanya pada seorang perwira polisi menanyakan dimana mereka bisa membeli tiket tepat didepan saya. Polisi itu kemudian mengajak kedua turis mendekat ke gerbang dan mengatakan harga tiket sebesar seratus lima puluh ribu rupiah per-orang. Crazy scam,
Mereka membayar dengan cepat dan uang berpindah tangan ke perwira polisi itu. Saya hendak mencegahnya karena masih mengekor dibelakang mereka, tetapi hal itu terjadi begitu cepat.
Atas perintah sang perwira, dua orang polisi membuka jalan kami bertiga namun hanya sampai dipelataran dalam saja setelah itu mereka pergi entah kemana dikerumunan penonton yang begitu memadati setiap sudut GBK.
"Tidak ada karcis yang harus dibeli, pertandingan ini gratis untuk siapa saja," jelas saya ketika mereka mencoba mencari polisi yang mengawal mereka semula.
"God Damned...." umpat mereka
Kala itu Indonesia dianggap perkasa, selama babak group tak pernah kalah, hanya ditahan seri oleh Vetnam dipertandingan kedua. Disemifinal mereka menumbangkan kesebelasan Singapura 2-1 dan selanjutnya menghadapi Thailand malam itu dengan percaya diri.