Jaman masih muda dulu. Benda bernama surat kaleng kayaknya terasa umum banget. Dimana ada sesuatu yang diperdebatkan atau disengketakan selalu muncul surat kaleng. Tanpa nama, tanpa alamat.
Isi surat kaleng biasanya unek unek sekaligus melampiaskan emosi. Sedikit sekali yang ngasih fakta-fakta dengan bukti. Kenapa dibilang tanpa bukti? Karena kalo sudah ada bukti kenapa mesti lewat 'kaleng'?
Kaleng itu kalo kosong, dilempar dikerumunan, suaranya akan nyaring. Semua akan ambil perhatian, mencari ada apa gerangan. Tujuan lempar kaleng memang cuma mau cari perhatian. Begitu dibuka, nggak ada isinya.
Analogi surat kaleng jaman sekarang adalah Akun bodong. Sebuah alter ego yang disiapkan untuk suatu saat mau ngelempar unek- unek tanpa mau resiko orang menyerang balik dirinya didunia nyata.
Dasar dari sebuah surat kaleng adalah sifat pengecut. Dasar dari alter ego juga sarua keneh.
Dua-duanya jadi senjata untuk bikin keramaian tanpa orang boleh tahu siapa yang buat dan kadang juga untuk menjatuhkan seseorang.
Sifat pengecut itu datang karena ditularkan. Baik lewat lingkungan maupun didikan.
Sejak kecil saya berusaha nggak ngajarin sifat pengecut. Dimulai dari kali pertama anak-anak membuat akun sosial media.
Mereka gak boleh buat akun dengan sebutan yang diluar dari asosiasi pribadi mereka. Menulis nama, baik disingkat apalagi jelas adalah satu hal yang saya minta dari mereka sebagai nama akun.
Dengan nama atau singkatan yang jelas minimal mereka akan bertanggung jawab dengan apa yang ditulis. Nggak menyerang pribadi orang hanya karena namanya nggak ketahuan.