Begitu menjejakkan kaki di stasiun Gosford, matahari baru saja menggelincir di ufuk barat hingga langit kota Gosford berangsur gelap digantikan lampu-lampu fluorescent yang tak mampu menyinari seluruh lorong yang saya lalui menuju gate kedatangan. Perjalanan dari Brisbane dengan kereta api menyisakan lelah yang bercampur dengan rasa lapar yang menyergap sejak melewati stasiun New Castle hingga tiba di tujuan.
Hanya dua penumpang turun di stasiun yang berada di kota industri pesisir timur Australia itu. Mungkin itulah yang membuat tak satupun taksi menunggu penumpang di halaman stasiun yang tak seberapa luas. Saya menyeberangi lapangan parkir lalu menyusuri jalan kecil 'Burns Cress' dan berharap tiba di jalan yang lebih besar 'Mann Street' agar bisa mendapatkan taksi.
Tas punggung hitam rapat berada dibelakang dan mengayun-ayun pada punggung bersamaan dengan langkah cepat saya menuju Mann street. Angin musim panas bertiup dari selatan menyerap uap-uap air yang merubahnya menjadi terpaan hawa dingin menembus jaket parasit yang saya kenakan.
Mendekati taman yang memisahkan jalan Mann Street dan Stasiun kereta segerombolan pemuda tanggung sedang memperhatikan langkah saya yang kian mendekat menuju Mann street sampai dua pemuda diantara mereka menyongsong kedatangan saya. Desir khawatir menerpa, dan saya tak bisa lagi berhenti apalagi membalikkan arah.
"Hai, Apa kabar. How ya goin?" sapa saya tegas mendahului mereka berdua dengan bahasa slang Aussie. Saya tak tahu niat mereka dan mungkin saja mereka tengah bersiap dengan kalimat ancaman sebelum mendapatkan sapaan saya yang dibuat seakrab mungkin.
"G'day mate, baru turun kereta ya?" mereka bertanya dan saya mengiakan.
"Pasti ada sisa uang untuk membeli beberapa botol bir kami ya?" lalu ia menunjukkan kerumunan temannya yang lain yang genap berjumlah enam orang. Bunyi denting botol bir bersahutan menumbur dasar trotoar tempat mereka mengokupasi jalur jalan.
Saya ingin mengatakan bahwa saat itu uang yang tersisa hanya cukup untuk membayar ongkos Taksi dan menyatakan bahwa tak ada uang yang banyak tersisa dikantong, tetapi naas ketika saya menepuk kantong celana gemerincing uang logam beradu satu sama lain dalam sesaknya mereka didalam kantong celana.
"Nah, itu suara menandakan kamu punya uang banyak!" lalu mereka tertawa sambil menunjuk kantong saya. Saya berusaha tertawa dan merubah keterangan dengan menyatakan uang receh itulah yang akan saya pakai untuk membayar taksi. Saya membayangkan jika mereka menjelajah dompet saya dan menemukan beberapa ratus dollar didalamnya.
Saya mengeluarkan satu persatu uang logam dari kantong dan menghitungnya didepan mereka. Ada Sembilan belas dollar tujuh puluh sen. Saya menghela nafas sambil tersenyum dan mengajak mereka berjalan menuju kerumunan temannya yang tengah menunggu. Ditengah kerumunan saya menyalami mereka satu persatu lalu mengenalkan diri. Bau bir menyeruak dari mulut mereka, sebagian menatap saya dengan pandangan khas pemabuk yang tak lagi berkonsentrasi.
"Ada yang tahu ongkos taksi dari sini ke Terrigal?" tanya saya.