Lihat ke Halaman Asli

Aryadi Noersaid

TERVERIFIKASI

entrepreneur and writer

(Catatan Tepi) Kanker, Mengapa Aku?

Diperbarui: 12 April 2017   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesal..capek..menguras emosi. Begitulah perasaan ketika harus mempresentasikan sebuah kegagalan dalam sebuah rapat yang dihadiri berbagai macam pihak. Semburat matahari pagi dari balik gedung dilantai 26 berubah seperti  lampu sorot di panggung bagi saya yang tengah berdiri dikelilingi tatapan mata yang siap memangsa. Mereka siap menunjukkan segala kesalahan team yang saya pimpin  dari sudut pandang mereka masing-masing yang kesemuanya sesungguhnya sudah kami sadari sejak awal karena penyebab kesalahan bukan sama sekali kami ciptakan dan sungguh diluar kekuasaan team kami.

Tapi sudahlah, sebagai pemimpin team saya tetap harus menyampaikan proses kegagalan dan dengan besar hati harus menerima tudingan apapun meski tak layak menerima hal itu. Kritikan, sindiran dan nasehat berujung pada kesimpulan bahwa saya harus bertanggung jawab pada apa yang sudah terjadi.

Ketika semua peserta rapat bubar, tinggal saya menatap  lepas kearah jendela mencoba tersenyum pada pantulan cahaya, me’release’ segala penat ketidak adilan. Kadang dunia dipenuhi pada hal yang tak sanggup kita hentikan dan hal itu bisa  menggilas pencapaian kita tanpa ampun.

Ditengah kepenatan menjelang siang itu tatapan saya tertumbuk pada gedung yang menjulang sejajar dengan gedung yang saya tapaki. Gedung yang berdiri kokoh dengan kaca-kaca jendela berwarna kebiruan dan mengingatkan saya pada seseorang. Tanpa makan siang saya bergegas menuruni gedung lalu menyeberang dan memasuki lobby yang semula hanya saya tatap dari lantai 26 di gedung seberang. Pada receptionis di sisi kiri pintu lobby saya bertanya tentang seseorang yang ingin saya kunjungi  dan ia menunjukan secarik kertas kecil untuk saya bawa.  Saya menyentuh tombol lift ke lantai-22 yang siang itu kebetulan kosong dan tak ada orang lain. Ruangan serba hijau saya masuki dan lorong menuju satu ruangan berisi enam tempat tidur menyambut tubuh saya yang berangsur segar karena hembusan mesin tata udara yang lembut.

“Assalamualaikum!” saya ucapkan salam dari balik tirai yang mentup sekeliling tempat tidur. Sekilas saya melihat seseorang tergolek tidur dengan kepala tanpa rambut sama sekali. Seseorang penjaga perempuan datang menghampiri dan saya meminta ijin untuk berkunjung. Tirai membuka dan seorang perempuan di tempat tidur yang kali ini telah berhijab menyambut saya dengan tatapan yang coba mengenali. Saya tersenyum, kelelahan dan rasa sakit menahan wajahnya untuk tersenyum. Saya duduk ditepi tempat tidur untuk bisa lebih dekat dan bisa mendengar suaranya.

“Maaf ya mengganggu tidur kamu!” sapa saya. Ia mulai tersenyum dan mengangguk tanda berterima kasih. Dalam lirih suara yang terganjal dua manifold selang oksigen sahabat saya bercerita betapa dirinya sedang berusaha menahan sakit akibat kemotheraphy yang beberapa jam sebelumnya dia jalankan. Perutnya mual dan siang itu ia tak mampu menelan makanan.

Kanker Rahim yang terdeteksi sejak hampir lima tahun lalu telah membawanya pada rangkaian cobaan bertubi-tubi dan bermuara pada hari dimana saya berkunjung.  Sel kanker sudah menyentuh paru-parunya hingga tak bisa lepas dari selang oksigen untuk membantu nafasnya.

Hari demi hari ia lalui dengan penuh pertanyaan kepada Tuhan kenapa hal ini terjadi, kenapa tubuhnya harus dihinggapi penyakit yang tak ia kehendaki. Pada alasan yang tak ingin saya ketahui tentang perpisahannya dengan sang suami, ia bersyukur dikaruniai seorang anak lelaki yang dengan gagah berani melawan semua cobaan ibunya dengan usaha dan doa dan selalu setia mendampingi. Hari-hari kuliah sang anak di satu perguruan tinggi negeri tak dilalui selayaknya anak-anak lain yang bisa berkonsentrasi pada kuliah yang ditempuhnya. Mencari uang untuk dua hal yaitu kuliah dan pengobatan ibunya menjadikan ia seorang anak yang mampu dewasa dengan sendirinya.

“Bagaimana perkembangan terakhir kankermu menurut dokter?” tanya saya. Ia menggeleng dan memang tak ingin mengetahuinya.

“Semakin aku mengetahuinya semakin panjang juga kekhawatiranku untuk menjalankan sisa pengobatannya. Lebih baik aku tak mengetahuinya sama sekali dan terus menjalani pengobatan sampai aku tak kuat lagi menjalaninya,” jelasnya.

“Apa yang membuat kamu kuat seperti ini?”  tanya saya. Matanya mulai berkaca-kaca dan dari mulutnya keluar kalimat bersyukur karena memiliki anak lelaki yang begitu gigih berjuang untuk dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline