Lihat ke Halaman Asli

Aryadi Noersaid

TERVERIFIKASI

entrepreneur and writer

[Catatan Tepi] Iman di Kereta dan Media Sosial

Diperbarui: 12 Februari 2017   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Warga muslim Nepal melangsungkan shalat di hari pertama puasa bulan Ramadhan di Masjid Kathmandu. (AP PHOTO / Niranjan Shrestha)

Tempat saya belajar berpikir positif dan kerendahan hati setiap hari adalah musholla stasiun kereta sepanjang Sudirman-Jurang Mangu. Bukan masalah pernah kehilangan sepatu di sana yang mengajarkan hati harus legawa, tetapi karena setiap hari saya melihat sedemikian banyak penumpang commuter line yang berusaha menegakkan shalat pada waktu yang sempit di saat orang-orang lain berusaha memburu waktu tiba di rumah secepat mungkin.

Jika kebetulan dapat stasiun yang memiliki musholla dengan kapasitas dua shaft saja, shalat maghrib dilaksanakan dengan bergelombang tanpa jeda. Begitu salam tahiyat akhir tiba, pergerakan gelombang jamaah berikutnya akan mengisi dua shaft yang ada dan mereka menegakkan shalat dalam barisan yang silih berganti.

Yang paling menarik di tempat ini adalah setiap mengawali shalat wajib berjamaah di gelombang berapa pun selalu masing-masing menyodorkan tangan untuk mempersilhkan siapa saja yang bersedia untuk memimpin sholat sebagai imam. Tidak ada prasangka bahwa yang akan memimpin shalat dari golongan apa, bagaimana keimanannya, bagaimana akhlaknya, apalagi bagaimana pilihan politiknya. Biasanya pada waktu yang sempit, wajah-wajah rendah hati selalu tersenyum mempersilahkan orang di sampingnya untuk memimpin meskipun mungkin saja bacaan serta pemahaman iman Islamnya telah jauh menerobos ilmu yang tersedia di seberang benua hingga negeri Islam asalnya.

Tetapi bukanlah dunia kalau tidak dipenuhi anomali, selalu ada cerita di balik harmoni shalat jamaah di stasiun kereta:

Suatu hari kereta terlambat tiba, rangkaian terhenti di tengah jalan hingga ketika tiba di stasiun tujuan waktu shalat maghrib hanya tinggal sepuluh menit. Musholla yang hanya cukup untuk dua shaft mendadak menjadi seperti loket tiket yang diantre sedemikian banyak jamaah yang ingin menegakkan shalat pada waktunya. Seperti biasa, masing-masing gelombang memulai prosesi wudhu dan berkumpul dalam gelombang jamaah. Ketika gelombang pertama genap berkumpul dalam dua shaft, tak seperti biasanya ada seseorang dari balik pintu menerobos ketika barisan shaft terdepan belum lagi mempersilahkan salah satu jamaah untuk menjadi imam. Melihat dari perawakan dan pakaiannya, tak ada yang meragukan kesholehannya.

Mendapati pemimpin shalat yang merelakan dirinya untuk memimpin sebagai imam, sodoran tangan sopan pada jamaah di samping masing-masing tak perlu dilakukan. Semakin cepat menunjuk imam, maka semakin baik karena ada dua gelombang jamaah lain yang menunggu shalat maghrib pada waktunya dalam waktu sepuluh menit.

Takbir berkumandang, lafadz umul quran berkumandang merdu dengan lafadz yang nyaris sempurna, alunannya merdu tetapi berlangsung dalam tempo yang lambat. Surah panjang berkumandang dalam rakaat pertama lalu demikian pula berkumandang surah yang lebih panjang pada rakaat kedua dengan lafadz yang begitu tertata. Ketika salam akhir diucapkan, waktu tersisa dua menit saja dan itu pun harus mendengarkan bagaimana doa usai shalat dikumandangkan imam dalam mata terpejam. 

Dua shaft di belakang sudah meninggalkan tempatnya untuk mempersilahkan yang lain melaksanakan shalatnya. Dua gelombang saling pandang, mata mereka sesekali melirik jam tangan menunggu sang imam menurunkan tengadah tangannya. Tak tahu adab apa yang bisa dipakai untuk mengingatkan seseorang yang tengah khusyuk berdoa sebagai imam dan… azan Isya pun kemudian berkumandang. Waktu Maghrib terlewat dengan cepatnya wajah-wajah kecewa pun tebersit di antara jamaah yang menunggu. Beruntung, Islam memberi waktu penggabungan dua shalat bersamaan pada satu waktu jika waktu bergulir melewati waktu yang ditentukan. Lalu usai azan dengan ringannya sang imam menengok ke belakang lalu meminta salah seorang untuk mengumandangkan Iqomat…. Iqomat shalat Isya.

“Maghrib aja belom... sudah mau Isya!” sungut salah satu jemaah yang menunggu tak sanggup menutupi kekecewaaanya.

Sepuluh menit bagi penumpang commuter line begitu berharga. Ia bisa menuntaskaan tiga gelombang shalat wajib berjamaah dan juga bisa melintasi tiga stasiun untuk tiba lebih cepat ke rumah. Tetapi selalu saja ada satu dua yang tidak memahaminya, selalu saja ada yang sibuk menikmati jika tidak dibilang mempertunjukkan kesholehannya bukan pada waktu dan tempatnya. Bacaan surah yang bertajwid luar biasa tak berimbas pada kekhusyukan jamaahnya, tetapi justru disambut dengan gelengan kepala.

Saya belajar dari hari itu bahwa betapa banyak orang baik dan sholeh merasa perlu melakukan tugasnya sebagai seorang muslim untuk memberikan contoh ibadah serta mengumandangkan cara hidup islami tetapi cara mereka terasa text book. Begitu banyak mereka memberi contoh bukan pada waktunya, bukan pada kondisi di mana tempat dan waktu belum memungkinkannya bahkan hanya sibuk menunjukkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih dalam keimanan dibanding orang lain di sekitarnya. Banyak yang sibuk mengumandangkan berita di mana majelis tempat mereka berkumpul tetapi tidak memberikan esensi kebaikan setelah mereka mendapatkan ilmu dari tempat mereka berkumpul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline