Lihat ke Halaman Asli

Aryadi Noersaid

TERVERIFIKASI

entrepreneur and writer

Keringat, Hijau, Panen - Catatan Tepi

Diperbarui: 17 September 2016   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertemu dengan sekelompok lelaki perkasa yang diantaranya tengah sibuk menyeka wajah berpeluh usai melakukan berbagai kegiatan diantara sawah dan ladang yang menghijau itu sungguh luar biasa.

Di tengah obrolan kami, tak ada satupun dari mereka yang bisa dengan cepat menjawab ketika saya spontan bertanya tanggal berapa hari ini?.

"Bagaimana mungkin bapak-bapak nggak mengerti tanggal sementara padi yang ditanam ini kan harus diawasi kapan disemai, kapan ditanam dan kapan dipanen?".

Para lelaki perkasa itu saling memandang berharap salah satu diantara mereka bisa menjawab pertanyaan mudah saya.

Sebagai petani yang setiap hari berteman gemericik air yang mereka biarkan menyentuh betis masing-masing, desisan mulut yang mengusir burung-burung pengganggu bulir muda dan tak ada perdebatan panjang tentang bagaimana rencana diantara mereka untuk melawan seluruh hama yang mengancam harapan. Maka tak ada kalimat runut dan canggih yang bisa diutarakan untuk menjawab mengapa mereka tak begitu peduli tanggal.

Saya menyusun jawaban mereka dalam pemahaman saya sendiri dari kalimat-kalimat sederhana mereka:

"Padi di sawah ini adalah kalender kami, selebihnya hari yang berjalan akan mengikuti apa yang kami lakukan terhadap sawah kami. Harapan hidup kami dimulai ketika bibit kami semai dan kami tanam sementara setiap hari adalah tugas kami memastikan seberapa tinggi padi yang mengisi harapan hidup kami dan hama apa yang mengganggu mereka sampai saatnya panen tiba ," kurang lebih begitulah yang mereka sampaikan.

"Lalu bagaiamana bapak-bapak membiayai hidup sementara menunggu sekian bulan padi ini memberi rejeki kepada keluarga bapak semua?"

"Anak-anak kami dibiayai sekolah dari hasil padi ini sementara hidup sehari-hari kami biayai dari keringat yang mengalir setiap hari. Tidak ada hari tanpa keringat kerja dan tidak ada keringat kerja tanpa imbalan,"

"Imbalan? dari siapa?"

"Apa yang akan kami dapat dari padi ini adalah penghasilan yang pasti kami dapatkan diakhir panen nanti . Kami tak pernah khawatir kecuali Tuhan marah dan merebutnya dari kami lewat hama atau bencana. Meskipun belum panen Hijau nya sawah kami selebihnya mengundang rejeki lain. Rejeki lewat belut yang bisa kami jual, lewat ikan yang mengikuti aliran air yang bisa kami makan, lewat singkong yang mengisi petak-petak kosong ditegalan, lewat burung-burung belibis yang digemari orang kota,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline