Lihat ke Halaman Asli

Aryadi Noersaid

TERVERIFIKASI

entrepreneur and writer

[Catatan Tepi] Menghukum Generasi Maya

Diperbarui: 29 Mei 2016   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Siswa generasi Z. (Shutterstock)

Pada saat di Sekolah Dasar Negeri, saya terpaksa memindahkan anak-anak saya dari sekolahnya ke sekolah lain begitu semester genap berakhir. Bukan karena nilai anak saya terburuk dari yang lain, tetapi sang wali kelas tidak mampu menjawab ketika saya bertanya tentang sikap dan kelakuan anak saya di sekolah. Pertanyaan standar pada acara pembagian raport hasil belajar di setiap jenjang sekolah anak-anak saya adalah bukan berapa nilai atau rangking yang didapat, tetapi bagaimana kelakuan mereka di sekolah.

“Sebentar, saya ingat-ingat dulu anak Bapak yang mana ya?” Beliau membolak-balik catatan nama-nama murid berikut dengan foto. Setelah bertemu ia mulai mengeluh tak mampu menilai satu per satu anak muridnya.

“Saya tidak mungkin meminta anak saya untuk jadi juara kelas atau menjadi paling bodoh atau bahkan supaya paling nakal untuk bisa dikenal Ibu sebagai wali kelas!” seru saya.

“Muridnya banyak sih, Pak. Saya tidak ingat satu per satu. Mereka berjumlah empat puluh dua murid.” Percakapan pun ditutup. Saya mengambil raport dua anak kembar saya tanpa perlu lagi melihat berapa nilai yang didapat oleh keduanya.

Ketika jenjang SD terlewati, tidak ada panggilan khusus kami sebagai orang tua atas kelakuan anak-anak kami di sekolah. Itu artinya mungkin saja mereka adalah murid yang patuh dan tidak bermasalah atau sebaliknya guru tidak mengenal mereka.

Di saat mereka duduk di jenjang SMP panggilan pertama yang saya terima adalah ketika salah satu anak kembar meminta saya datang ke sekolah untuk menghadap guru BP sekaligus wakil Kepala sekolah.

“Ada apa?”

“Aku sudah terlambat ke sekolah lebih dari lima kali dalam satu semester, Ayah. Hari ini tidak boleh masuk kalau Ayah atau Bunda tidak datang,” Rifqi menyodorkan surat panggilan kepada saya.

Di sekolah saya bertemu dengan guru BP. Beliau menceritakan bahwa secara akademis anak saya tidak bermasalah, tetapi kedisiplinan untuk tiba di sekolah sudah melebihi syarat yang dibolehkan.

“Kalau itu saya yang salah, Pak Guru, bukan anak saya. Terima kasih sudah memanggil karena saya yang mengatur jadwal mereka berangkat karena kebetulan mereka berangkat bersama kendaraan saya dan lebih mendahulukan saudaranya yang lain untuk kemudian mengantar Rifqi ke perempatan jalan mengambil angkot ke jurusan sekolah ini. Sayangnya dia tidak pernah bilang ke saya bahwa waktu mengantar kurang pagi sehingga dia terlambat.”

“Ya Pak, tolong dijaga disiplinnya anak Bapak!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline