Lihat ke Halaman Asli

Aryadi Noersaid

TERVERIFIKASI

entrepreneur and writer

Hijab dan Sop Buntut

Diperbarui: 25 Januari 2016   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

alam satu kesempatan disuatu acara berkumpul. Seorang ibu yang saya kenal, terdengar menasehati anak lelakinya yang kira-kira berumur delapan belas tahun ketika kami tengah berbicara tentang jodoh.

“Nak, Kalau nanti cari istri harus yang pakai jilbab ya… Jangan kayak perempuan sekarang yang pakaiannya banyak nggak pantas!” suara ibunya tegas.

Si anak lelaki melihat saya yang kebetulan duduk disebelahnya. Ia diam saja.

“Kalau pakaiannya yang nggak pantas, mungkin iya..jangan dijadikan pasangan. Tapi kalau harus berjilbab, apakah memang harus?” Saya menyergah.

“Haruslah.. lebih baik cari yang seperti itu daripada yang nggak jelas. Jaman kayak gini gitu lho, paling tidak ada jaminan menantuku nanti punya keyakinan agama yang kuat!”.

“Kalau keyakinan agama yang kuat, itu saya setuju. Tapi kalau harus berjilbab apakah itu harus?”sahut saya.

“Aduh gimana sih…ya harus dong. Perempuan kan harus menutup auratnya. Itu harus dan harus, gak bisa ditawar!” tegas ibunya kembali sambil memandang anaknya yang masih saja diam mendengarkan.

Lalu saya menjamah bahu anak lelaki itu dan berkata kepadanya:

“Kalau gitu, nanti kamu jangan mencari istri yang seperti Mamamu dan jangan ulangi kesalahan Papamu menikah dengan perempuan seperti Mamamu!” tukas saya.

Sang ibu meradang, dan berbicara dengan nada agak meninggi.

“Enak aja, kok nasehatin anak orang kayak gitu sih. Memangnya saya kenapa?” buru dia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline