Salah satu guyonan yang sering saya dengar dari mahasiswa saat ujian adalah, “Posisi menentukan prestasi.” Pernyataan ini seolah menjadi jurus rahasia bagi beberapa mahasiswa, yang percaya bahwa duduk di posisi strategis, seperti di belakang atau dekat dengan teman yang dianggap lebih pintar, bisa membantu mereka ‘berprestasi’ dalam ujian, dengan cara mencontek.
Dalam hati, saya bertanya-tanya, bagaimana pandangan sederhana ini akan terbawa ke masa depan mereka? Jika sejak dini mereka terbiasa menghalalkan cara demi mencapai hasil, adakah ini bagian dari benih pola pikir yang nantinya meremehkan kejujuran demi kepentingan jangka pendek? Sederhana mungkin, namun renungan ini membuat saya memikirkan dampak yang lebih luas: jika mencontek menjadi kebiasaan, bisa jadi di masa depan akan muncul generasi yang lebih toleran terhadap manipulasi dan praktik-praktik tidak etis.
Ketika mahasiswa memilih untuk mencontek, mereka tidak hanya mengambil jalan pintas untuk mendapatkan nilai yang lebih baik; mereka juga mulai mengembangkan mentalitas bahwa kecurangan dan tindakan tidak etis adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Kebiasaan ini mengajarkan bahwa hasil lebih penting daripada proses, sebuah pelajaran yang berpotensi merusak integritas mereka di masa depan.
Dalam jangka panjang, mereka yang terbiasa mencontek dapat melihat kecurangan sebagai strategi yang wajar ketika menghadapi tantangan dalam hidup. Korupsi, penipuan, dan manipulasi akan menjadi pilihan yang mudah dan diterima dalam menghadapi kesulitan.
Penting untuk disadari bahwa kebiasaan mencontek dan korupsi memiliki akar yang sama. Ketika anak-anak mencontek di sekolah, mereka tidak hanya merusak proses pembelajaran mereka sendiri, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang akan memengaruhi sikap mereka di masa dewasa. Mentalitas yang muncul dari kebiasaan mencontek, bahwa mendapatkan hasil yang baik dengan cara curang adalah sesuatu yang dapat diterima, hal ini dapat berlanjut ke lingkungan kerja dan kehidupan sosial mereka.
Individu yang dulunya mencontek di bangku sekolah cenderung tidak merasa bersalah ketika menghadapi situasi di mana mereka dapat mengambil jalan pintas untuk meraih keuntungan, baik itu dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, penggelapan dana, atau suap.
Di sinilah letak urgensi kita untuk bertindak. Jika kita membiarkan tindakan mencontek ini berlangsung tanpa penegakan disiplin yang ketat, kita sebenarnya sedang menyiapkan generasi mendatang untuk menganggap korupsi sebagai hal yang normal dan dapat diterima. Hal ini bukan sekadar masalah pendidikan, hal ini adalah masalah moral yang dapat menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan.
Individu yang terbiasa mencontek akan cenderung membenarkan tindakan yang sama ketika mereka menghadapi godaan serupa di dunia kerja, merugikan diri mereka sendiri, lingkungan kerja, dan masyarakat secara keseluruhan.
Mari kita ciptakan lingkungan di mana usaha dan kejujuran dihargai. Jika kita ingin mencegah budaya korupsi di masa depan, salah satunya kita harus mulai dari kebiasaan kecil ini. Dengan menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dalam pendidikan, kita dapat membantu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki moral yang kuat.
Apakah kita siap menerima generasi yang menganggap kecurangan sebagai jalan pintas yang wajar untuk mencapai kesuksesan? Atau, sebaliknya, beranikah kita memutus rantai ini dengan menanamkan nilai integritas sejak dini?
Oleh: Arya Astina