Herodotus adalah orang pertama kali menuliskan sejarah dan juga dianggap sebagai sejarawan pertama dunia. Pada tahun 425 SM, Herodotus menerbitkan karya besarnya, sebuah catatan panjang tentang Perang Yunani-Persia yang disebutnya "The Histories". Menurut bahasa Yunani, "historie" artinya "penyelidikan". Dari Herodotus inilah penulis-penulis sejarah atau sejarawan terlahir karena pada saat itu analisis sejarah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan intelektual dan politik.
Ahli sejarah atau biasa disebut Sejarawan itu sendiri merupakan orang yang mempalajari dan menulis peristiwa di masa lampau, dan dianggap punya wewenang dalam melakukan kajian peristiwa tersebut. Sejarawan akan mengungkapkan pola perkembangan, konteks dan kondisi peristiwa, serta konsekuensinya yang sulit dipahami dan mudah dipahami bagi mereka yang belum mengalami peristiwa tersebut secara langsung. Sejarawan profesional sering ditemukan juga, di universitas-universitas terkemuka Indonesia. Dalam hal luas sejarawan juga dapat bekerja untuk arsip, museum, kantor pemerintah, atau menjadi penulis lepas.
Dalam penulisan sejarah para sejarawan juga tak luput melakukan kesalahan-kesalahan. Disesuaikan dengan urutan penelitian ada 4 kesalahan yaitu yang pertama adalah kesalahan pemilihan topik, kedua kesalahan pengumpulan sumber, ketiga kesalahan verivikasi, keempat kesalahan interpretasi dan yang kelima terakhir adalah kesalahan penulisan, Berikut saya akan menjelaskan salah satu dari 5 kesalahan penulisan yaitu kesalahan pemilihn topik sejarawan
KESALAHAN PEMILIHAN TOPIK
Dalam pemilihan topic ini tentunya adalah hal yang paling penting sekaligus pekerjaan pertama sejarawan. Kenapa hal ini menjadi sangat penting, sebab tanpa adannya topic pekerjaan selanjutnya tidak dapat dilakukan dan juga harus berhati-hati dengan tidak hanya melakukan pendekatan secara emosional tetapi juga secara intelektual. Kesalahan yang terjadi dalam pemilihan topic ada 5 yang akan saya jelaskan berikut.
1. Kesalahan Baconian
Kesalahan ini bermula dari sejarah adalah ilmu empiris dengan demikian sejarah berisikan pengalaman, percobaan, penemuan atau pengalaman yang dilakukan. Seperti kata Francis Bacon (1561-1629), empiris dari Inggris percaya bahwa pengetahuan yang benar dapat tercapai lewat pengalaman,penginderaan dan pengamatan Sehingga seorang sejarawan melakukan kesalahan Baconian bila penulisan sejarah tanpa menggunakan teori, konsep, ide, paradigma, praduga, hipotesis, atau generalisasi lainnya, Dengan anggapan tersebut tidak mungkin berjalan apapun jenis penulisan sejarah yang akan ditulisnya. Karena hal-hal tersebutlah yang bisa menjadikan tulisan sejarah terbentuk.
2. Kesalahan terlalu banyak pertanyaan.
Seorang penulis tidak boleh terlalu banyak menayakan sekaligus beberapa pertanyaan. Hal in dikarenakan pertanyaan yang terlalu banyak akan membuat penulis kehilangan inti tulisan dan tulisannya tidak dapat mencapai detail. Sehingga membuat tulisannya hanya menyatakan kebenaran umum yang sudah diketahui umum. Kesalahan ini biasanya dikarenakan (1) kalau sejarawan menanyakan lebih daru dua pertanyaan, (2) sejarawan menanyakan satu tapi masalah, tetapi menimbulkan pertanyaan lain (3) pertanyaan itu terlalu kompleks.Seperti dengan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dalam kepenulisannya ditulis oleh banyak orang sehingga membuat topic tersebut yang awalnya tentang birokrasi menjadi kehilangan fokus
3. Kesalahan pertanyaan yang bersifat dikotomi
Kadang-kadang seorang sejarawan mmepunyai pemikiran hitam-putih terhadap suatu topic. Seolah-olah dalam peristiwa atau tokoh di dalmnya hanya mempunyai dua kemungkinan. Seperti dengan kasus topic " Diponegoro : Pemberontak atau Pejuang". Padahal hal ini hanya bias dijelaskan dengfan sudut pandang masing-masing, seperti di sudut pandang orang-orang yang berpihak kepada raja, Diponegoro disebut pemberontak. Namun berbeda dengan orang-orang yang berpihak pada Diponegoro malah sebaliknya mereka menganggap Diponegoro sebagai pejuang. Kesalahan ini terjadi disebabkan dimana sejarawan bertindak mengadili atau menentukan benar salah, padahal sejarawan harus mendeskripsikan peristiwa sesuai kejadian sesungguhnya dengan netral. Seperti pada topik "Diponegoro : Pemberontak atau Pejuang" seolah-olah itu membuat Diponegoro disudutkan pada dua kemungkinan tersebut.