Lihat ke Halaman Asli

Arya Putra

penulis lesu

Bagaimana Wacana Green Jobs Menciptakan Gerakan Massa Melawan Krisis Iklim?

Diperbarui: 29 April 2022   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

"Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi."

Kutipan tersebut diucapkan oleh sosok garda terdepan lingkungan hidup Indonesia, Siti Nurbaya Bakar di Twitter pada 3 November 2021. Ironisnya kicauan tersebut keluar sehari setelah Presiden Joko Widodo dalam COP 26 menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan pada 2030 serta menyepakati target Net Zero Emission pada 2060.

Tapi ironi ini belum selesai, karena sebenarnya pada 2018 pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mewujudkan pekerjaan hijau melalui kesepakatan Declaration on Promoting Green Jobs for Equity and Inclusive Growth of ASEAN Community. Seharusnya dalam beberapa tahun kedepan, industri dan pembangunan harus menyesuaikan prinsip dari pekerjaan hijau yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca, minimalisir limbah, peningkatan efisiensi energi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. 

Status Quo Lingkungan Hidup Indonesia

Mari menilik sedikit bagaimana kondisi Indonesia dalam menyikapi perubahan iklim. 

Pertama adalah fakta bahwa Indonesia termasuk negara yang sering terdampak perubahan iklim. Contohnya pada 2021 sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 3087 bencana alam terjadi dan didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, dan tanah longsor.

Kedua, belum lagi melihat dampak lingkungan dari pembangkit listrik batu bara, penggunaan bahan bakar fosil, dan industri sawit di Indonesia.  Data Coaction Indonesia dalam laporannya di tahun 2021 menjelaskan jika 35% dari 4.783 desa sawit mengalami pencemaran lingkungan air, udara, kebakaran hutan maupun pencemaran tanah dimana pelaku pencemaran didominasi oleh pabrik. Selanjutnya dari segi pertambangan dalam catatan akhir tahun 2020 JATAM [3] melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan. Akibatnya dapat dilihat dari tercemarnya air sungai oleh limbah, longsor, banjir hingga penurunan kualitas udara.

Dari sini dapat dilihat bagaimana data ironisnya kebijakan hijau yang berkebalikan dengan data di lapangan. Satu hal yang tak mereka sadari adalah perubahan cuaca ekstrem seperti badai, angin topan, banjir sebenarnya turut menganggu proses produksi industri tambang. Namun di lain sisi, industri tambanglah yang justru memperparah krisis iklim dengan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar.

Saya melihat ini adalah akibat dari sistem ekonomi kapitalisme. Yang mengutamakan investasi daripada hasil nyata bagi rakyat. Fenomena di atas adalah contoh akibatnya, pejabat yang kebijakannya hanya sekadar Greenwashing, kebijakan berupa kebohongan terstruktur agar menampilkan citra "peduli lingkungan".

Mujurnya, dunia internasional mulai sadar akan bahaya ini. International Energy Agency (IEA), menjelaskan jika permintaan akan batubara ke depannya akan menurun. Tentu ini merupakan lampu kuning untuk resiko kerugian finansial Indonesia mengingat produksi batu bara Indonesia sekitar 20 persennya digunakan untuk kebutuhan domestik dan sisanya untuk ekspor.

Solusi dibutuhkan untuk menghadapi krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan. Green jobs digadang-gadang adalah jawabannya. Green Jobs adalah konsep pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan. Pekerjaan hijau dapat memberikan peningkatan ekonomi melalui green economy, memberikan pola pikir baru dari segi pendidikan hijau, mendorong gerakan kolektif guna menekan lahirnya kebijakan hijau.

Peluang Ekonomi  di Depan Mata

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline