Memanasnya antara pendukung Puan Maharani dengan Ganjar Pranowo sempat berujung kepada pembentukan sejenis dewan-dewanan. Setelah beberapa saat berlalu, "Dewan" yang dibentuk oleh beberapa elite partai politik ini pada akhirnya disebut sebagai guyonan politik oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dewan Kolonel, begitulah sebutannya, dibentuk oleh anggota parlemen yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Tujuannya jelas, mendukung dan berupaya memajukan elektabilitas Puan Maharani di Daerah Pemilihan masing-masing. Lebih ternyata lagi, Dewan Kolonel sudah ada sejak tiga bulan silam. Dengan pencetusnya adalah Johan Budi yang juga merupakan anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dewan Kolonel ini erat dengan aspirasi kaum elite politik. Jelaslah, sebab pencetus dan anggotanya adalah 12 orang anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebagaimana lazimnya narasi politik di negeri ini, jika ada hentakan dari kaum elite, maka akan ada respon dari kalangan yang mengklaim dirinya mewakili akar rumput.
Dewan Kopral adalah jawaban dari kehadiran Dewan Kolonel. Menurut Immanuel Ebenezer sebagai pencetus dewan-dewanan ini, Dewan Kolonel adalah bentuk aspirasi akar rumput. Sebuah pernyataan yang menyengat bagi keberadaan Dewan Kolonel yang dilabeli aspirasi elite.
Dari namanya saja, penamaan "Dewan Kopral" sendiri didesain sedemikian rupa agar memang memberi kesan akar rumput. Dewan Kopral. "Kopral" sebagai singkatan dari Komando Perjuangan Rakyat Jelata. Rakyat Jelata. Sebuah sebutan yang erat hubungannya dengan akar rumput yang sering terinjak.
Sejujurnya, kami tertawa dengan pernyataan Immanuel Ebenezer tentang keberadaan Dewan Kopral ini. Sebab, jumlah kopral lebih banyak daripada kolonel. Menurutnya, dalam pemilihan nanti semua orang diperlakukan sama, cuma berhak atas satu suara. Sejatinya, yang berjumlah lebih banyak akan menang.
Tidak salah memang. Begitulah cara kerja sistem pemilihan kita. Tidak heran jika ada sebutan presiden wong cilik atau sebagainya. Memang, yang berhasil merayu dan mengamankan suara kaum yang lebih banyak jumlahnya, itulah pemenang. Hanya saja, sejauh ini masih subur anggapan, bahwa kaum marjinal di negeri ini jumlahnya masih banyak. Sebagai lumbung suara katanya.
Ditulis di Pekanbaru pada 26 September 2022
Referensi: